"Gunung adalah tulang, tanah adalah daging, air adalah darah, hutan adalah rambut", begitulah kalimat yang diutarakan oleh Mama Aleta dalam acara diskusi bersama Jurnal Perempuan pada taggal 26/07/2016 [1]. Indonesia memiliki begitu banyak pahlawan yang lahir dari perjuangan akar rumput. Salah satunya adalah Mama Aleta Baun, perempuan tangguh dari pedalaman Timor, Nusa Tenggara Timur. Ia telah menginspirasi banyak orang dengan perjuangannya melindungi alam dan hak-hak masyarakat adat di wilayahnya. Mama Aleta tak hanya melawan perusakan lingkungan oleh tambang marmer yang merusak tanah leluhurnya, tetapi juga memperjuangkan keadilan bagi masyarakat adat yang sering terpinggirkan.
Perjuangan Mama Aleta Baun merupakan cerminan nyata bagaimana kekuatan komunitas adat mampu melawan penindasan dengan cara-cara damai dan penuh kebijaksanaan. Dalam menghadapi perusahaan tambang yang berusaha mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah Mollo, Mama Aleta memilih pendekatan yang berbeda dari banyak gerakan perlawanan. Ia memimpin aksi damai yang melibatkan perempuan adat untuk menenun di atas gunung, tepat di area tambang yang akan dikeruk. Dengan menenun, mereka menyampaikan pesan kuat bahwa tanah mereka bukan hanya sumber daya ekonomi, tetapi juga sumber kehidupan yang diwariskan oleh leluhur dan harus dijaga demi generasi mendatang.
Aksi simbolis yang dipimpin oleh Mama Aleta Baun, tidak hanya memberikan dampak sosial terhadap masyarakat lokal melaikan membuat perhatian banyak pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional. Keberanian dan strategi damai yang diperlihatkan oleh Mama Aleta menginspirasi banyak orang di seluruh dunia, dan hal ini membawa pengakuan global atas perjuangannya. Salah satu bentuk pengakuan tersebut datang pada bulan April 2013, ketika Mama Aleta menerima The Goldman Environmental Prize di San Francisco, California, Amerika Serikat [2] dan Yap Thiam Hien Award 2016 atas jasanya dan kegigihannya memperjuangkan lingkungan hidup [3]. Penghargaan bergengsi ini mengukuhkan Mama Aleta sebagai tokoh yang berperan besar dalam menjaga lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat adat.
Perlawanan tanpa kekerasan yang dipimpin oleh Mama Aleta Baun berhasil menghentikan operasi tambang yang berpotensi merusak lingkungan dan menghancurkan kehidupan masyarakat adat di wilayah Mollo, Nusa Tenggara Timur. Tindakan ini tidak hanya menyelamatkan tanah adat dari ancaman eksploitasi, tetapi juga menjaga keberlangsungan tradisi dan identitas budaya masyarakat Mollo yang sangat bergantung pada harmoni antara manusia dan alam. Dengan aksi simbolisnya yang unik, Mama Aleta dan para perempuan adat lainnya menunjukkan bahwa menjaga alam bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal spiritual dan budaya yang mengikat masyarakat dengan tanah mereka selama berabad-abad.
Kisah keberhasilan ini menjadi bukti nyata bahwa kekuatan moral dan solidaritas komunitas bisa menjadi alat yang jauh lebih kuat daripada kekerasan dalam menghadapi ketidakadilan. Mama Aleta memilih untuk menempuh jalur damai dan penuh kebijaksanaan, menghindari konfrontasi fisik yang seringkali berujung pada kerusakan yang lebih besar. Sebaliknya, ia memanfaatkan kekuatan tradisi lokal, seperti menenun, sebagai bentuk protes yang kreatif dan mendalam. Aksi tersebut menyampaikan pesan kuat bahwa alam bukanlah objek yang bisa dieksploitasi semata, melainkan bagian integral dari kehidupan masyarakat adat yang harus dihormati dan dilestarikan. Cara Mama Aleta memperjuangkan hak-hak masyarakatnya mengajarkan bahwa keadilan bisa dicapai dengan jalan yang penuh kedamaian dan kebijaksanaan.
Lebih dari sekadar kemenangan lingkungan, perjuangan Mama Aleta juga menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan sosial di seluruh dunia yang berfokus pada keadilan sosial dan lingkungan. Ia mengingatkan kita bahwa dalam menghadapi ketidakadilan, keteguhan hati, kecintaan mendalam pada tanah air, dan rasa tanggung jawab terhadap budaya lokal sering kali menjadi kekuatan terbesar yang bisa kita miliki. Kisah Mama Aleta bukan hanya tentang satu komunitas yang berhasil melawan perusahaan besar, tetapi juga tentang bagaimana solidaritas, keberanian, dan cinta terhadap alam dapat menyatukan masyarakat dan menciptakan perubahan yang berkelanjutan. Sebagaimana perempuan memiliki peran yang krusial dalam upaya penyelamatan lingkungan. Hal ini bukan hanya berdasarkan tanggung jawab individu semata, melainkan juga karena hubungan historis dan kultural yang terjalin erat antara perempuan dan alam. Kedekatan perempuan dengan lingkungan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga emosional, sehingga membentuk pola pikir dan budaya yang kerap memengaruhi cara perempuan berinteraksi dengan alam. Isu lingkungan yang kerap kali bersinggungan dengan isu gender semakin memperkuat hubungan ini dan memiliki kedekatan yang terjalin kuat [4].
Dalam konteks ini, perempuan sering kali berperan sebagai pengelola sumber daya alam, seperti air, tanah, dan hutan, yang membuat mereka memiliki pemahaman langsung tentang pentingnya menjaga keberlanjutan ekosistem. Hubungan ini terbentuk melalui pengalaman sehari-hari yang erat dengan alam, baik dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun dalam menjaga keseimbangan sumber daya untuk kelangsungan hidup komunitas. Pengalaman ini menjadikan perempuan tidak hanya sebagai pengguna alam, tetapi juga sebagai penjaga kelestarian lingkungan [5].
Banyak perempuan merasa terikat secara mendalam dengan alam karena mereka bergantung pada sumber daya alam untuk menjaga kesejahteraan keluarga dan komunitas. Kedekatan emosional ini menciptakan kesadaran yang tinggi terhadap kerusakan lingkungan dan dampaknya terhadap kehidupan mereka. Ketika lingkungan rusak akibat polusi, deforestasi, atau perubahan iklim, perempuan sering kali merasakan dampaknya secara langsung, seperti meningkatnya beban kerja untuk mencari air atau bahan bakar, serta ancaman terhadap ketahanan pangan. Kondisi ini mendorong banyak perempuan untuk terlibat dalam gerakan lingkungan, baik di tingkat lokal maupun global, sebagai agen perubahan yang berfokus pada perlindungan dan pelestarian sumber daya alam.
Keterkaitan perempuan dan lingkungan dimaknai sebagai isu gender, dimana hubungan antara perempuan dan alam di wilayah pedesaan dan negara berkembang, sering kali menjadi kelompok yang paling terdampak oleh perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, namun peran mereka sering diabaikan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan lingkungan. Dengan menyadari keterkaitan ini, banyak gerakan ekofeminisme muncul, yang melihat bahwa penyelamatan lingkungan juga berarti memperjuangkan kesetaraan gender. Pemahaman ini menunjukkan bahwa untuk mencapai keberlanjutan lingkungan yang sejati, peran perempuan harus diakui dan diperkuat, baik dalam konteks pengelolaan sumber daya alam maupun dalam pengambilan keputusan strategis terkait lingkungan. Dengan begitu, pengalaman Mama Aleta dalam keterlibatan ini memungkinkan perempuan dapat di integrasikan dalam pengambilan keputusan, sehingga solusi yang dihasilkan lebih inklusif dan berkelanjutan untuk keadilan gender, serta mendorong tercapainya pembangunan yang berkelanjutan yang adil untuk semua kalangan.
Referensi