Mohon tunggu...
Syam Asinar  Radjam
Syam Asinar Radjam Mohon Tunggu... Petani - petani

petani

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Disambut Maori, Saudara Se-Hawaiki

21 Mei 2023   01:15 Diperbarui: 21 Mei 2023   02:05 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_261459" align="alignright" width="300" caption="antre di muka marae (dok. syamar)"][/caption]

Baru beberapa hari di kota Turangi, tak sangka seorang tetua suku Maori menyambutku selayaknya seorang adik bertemu saudara tua.

Siang itu, 12 April 2012, langit cerah. Udara sedikit hangat di musim gugur. Aku melangkah kecil menyusuri setapak di tepi lapangan rumput. Di antara Hirangi Marae, komplek rumah adat suku Maori di Turangi dan komplek Te Kura o Hirangi sekolah anak-anak Maori di kota kecil itu.

Pada saat itulah aku berpapasan dengan seorang lelaki tua. Beruban. Cakar ayam telah muncul di sudut mata tepi pelipisnya, tapi senyum yang ia tebarkan sematang usianya. Ia melangkah menuju Utara. Berlawan arah denganku.

Kia Ora!” ketika berjarak dua tiga langkah kami menyapa mirip bersamaan. Sekadar bersalam halo. Lalu kami memadu senyum. Dan dia segera menyusulkan sapaan akrab, “Hei, Boy! Bukankah kau yang datang dari Jawa?”

Aku mengangguk. Kukira dia mengenaliku karena aku diperkenalkan pada upacara Powhiri. Acara penyambutan dan pembukaan Australiasian Permaculture Convergence (APC) ke-11. Saat aku diminta maju ke muka. Sebuah kesempatan yang sempat membuat aku terheran-heran. Kenapa aku dimasukkan daftar tamu “penting” dalam upacara yang dikemas secara adat Maori itu.

[caption id="attachment_261462" align="alignleft" width="300" caption="di waktu luang convergence (dok. syam)"]

13774324421010602672
13774324421010602672
[/caption]

Dari limaratusan peserta, sedikit orang yang didapuk kehormatan tersebut. Kalau Toru Sakawa termasuk, aku tak akan heran. Dia praktisi permakultur kenamaan di Jepang. Lebih-lebih karena proyek permakultur berbasis komunitas yang ia sedang rintis sebagai bagian dari penanggulangan bencana radiasi nuklir Fukushima. Kalau tak salah ada pula Albert Bates, seorang Amerika Serikat, penggagas bio-char yang didengungkan menjadi salah satu pengentas masalah pemanasan global.

Sedang aku? Kehadiranku mirip kebetulan. Sekadar seseorang yang tertarik mengikuti acara ini lalu mengajukan diri sebagai relawan. Tentu saja, sembari mencuri tahu hal-hal terkait pertanian dalam bingkai permakultur. Rasa penasaranku terjawab oleh Joanna Pearsal, koordinator acara ini, yang berbisik seraya merangkul bahuku, “kami sangat mengapresiasi kehadiranmu di sini, Syam! Kau petani Indonesia pertama yang datang ke APC .”

Hanya beberapa jam setelah bisikan Joanna hinggap di telinga, aku berpapasan dengan sesepuh Maori yang tiba-tiba mengatakan, “Senang bertemu denganmu. Orang Jawa adalah saudara tua kami.”

Roman riang yang dilukis oleh sabit bentuk bibirnya lelaki itu terlihat amat jujur. Demikian pula di binar mata dan caranya mengguncang-guncang tubuhku. Keinginanku untuk menjelaskan bahwa asalku dari Pulau Sumatra, dan kebetulan sedang menetap di Pulau Jawa, tiba-tiba tak sempat kusampaikan. Terpotong oleh semangatnya menjelaskan sejarah Maori.

“Nenek moyang kami, bangsa Maori, berasal dari sebuah tempat suci bernama Hawaiki,” katanya menjelaskan. Dalam pandangan tradisional Maori, sebenarnya Hawaiki memiliki makna yang lebih dari sekadar tempat di muka bumi. Sebuah tempat yang agung. Ialah asal sekaligus tujuan, tempat darimana seorang Maori dilahirkan sekaligus menjadi alam setelah mati.

“Setelah ribuan tahun mengembara dari Hawaiki, sampailah di Aotearoa ini,” terangnya. Aotearoa nama Maori untuk North Island di Selandia Baru. “Dalam pengembaraan yang panjang, nenek moyang kami singgah lama di pulau Jawa atau kami sebut Hawaiki Ichi, Hawaiki kecil. Sebagian tinggal di pulaumu, sebagian lagi meneruskan pelayaran. Dalam pelayaran di masa lalu, nenek moyang kami terpencar-pencar . Ada yang mencapai Samoa dan pulau-pulau lain yang bertebaran di Samudra Pasifik, dan ada yang tiba di sini. Aotearoa.”

Lelaki tua yang kelak mengenalkan namanya sebagai Matua Tuatea itu kemudian menjelaskan rute pelayaran nenek moyang Maori panjang lebar. Serinci yang dia ingin. Aku menangkapinya sebanyak yang bisa muat di mungil volume otakku. Tapi kepadanya kutanyakan dimana sebenarnya tempat asal yang disebut Hawaiki yang ia sebut. Apakah berkait dengan dengan satu teori yang menyebut nenek moyang orang Nusantara dengan ras Mongoloid sepertiku berasal dari daerah yang sekarang dikenal sebagai Yunnan di bagian Selatan Cina?

Dia mengiyakan. Tapi katanya, itu Yunnan bisa jadi hanya sebuah titik persinggahan dalam pengembaraan yang panjang. Lelaki yang juga berprofesi sebagai guru ini telah mengejar sejarah Maori sedemikian lama. Menurutnya, Turki-lah tempat awal, lalu singgah ke Yunnan, sebagian terus ke nusantara, terpencar-pencar hingga nenek moyang bangsa Maori menetap di Selandia Baru.

Berkali-kali dia mengingatkan hubungan Maori dan Jawa si Hawaiki Kecil, tanah persinggahan penting. “Tahu, kau? Bertemu kau serasa bertemu saudara tua.”

I am sorry, Sir. But i have to say this. Originally I came from Sumatra Island. I moved to Jawa about eight years ago,” dengan berat hati, takut bikin cedera suka hatinya saya mengatakan ini, “Jadi sebenarnya, aku bukan asli Hawaiki Ichi.”

Ah, Sumatra?” Dia mengerjab. “Saudaraku, kamu lebih tua lagi!” Ucapannya membuatku teringat tampangku yang mulai mengeriput dan geligiku yang telah bertanggalan.

Sebentar kemudian, Matua Tuatea menjelaskan bahwa ada tiga pulau di nusantara yang menjadi persinggahan penting dalam sejarah Maori. Ketiganya diberi nama Hawaiki. Pangkalnya adalah Sumatra, si Hawaiki Roa atau Hawaiki Panjang. Dari sini nenek moyang terpecah dua. Ada yang mengarah ke Borneo atau disebut Hawaiki Nui alias Hawaiki Besar, ada yang ke Hawaiki kecil atau Jawa si Hawaiki Ichi. Dari Borneo, pelayaran diteruskan hingga mencapai Samoa dan pulau lainnya. Dari Jawa, pelayaran nenek moyang bangsa Maori diteruskan hingga bersandar di Pulau Utara Selandia Baru. Konon, demikian.

Jadi, aku berjumpa dengan saudara se-Hawaiki. Saudara dari nenek moyang dan sejarah yang sama. Rasanya seperti pertemuan dua saudara yang telah terpisah berabad-abad. Aku merasa ada sesuatu yang mirip terharu bertumbuh di dada. Mungkin begini rasanya jika menjadi penemu benua baru yang tumbuh di atas lautan yang memisahkan pulau-pulau kecil dari nusantara hingga sebagian Pasifik.

Menginap di Marae

[caption id="attachment_261463" align="alignright" width="300" caption="dalam marae (dok. syamar)"]

1377432528107747274
1377432528107747274
[/caption]

Dan ternyata, sambutan Maori yang disampaikan Matua Tuate bukan basa-basi. Beberapa hari setelah bertemu “saudara muda” itu, di Turangi aku sempat menginap beberapa malam di Hirangi Marae. Marae adalah rumah adat bangsa Maori. Selama di sana, aku sering bercakap dengan seorang Maori. Buku tempatku mencatat namanya hilang bersama ransel menjadi hak milik copet di bis Miniarta, dalam perjalanan di Pasar Rebo menuju Cibinong.

Teman Maori ini berbadan besar. Selama pertemuan para praktisi permakultur, ia mengoordinir perjamuan yang selalu dilakukan di Marae.

Boy,” katanya, “kamu boleh menginap di sini sesering kamu mau. Hirangi Marae selalu terbuka untuk pelintas, apalagi pelintas asal tanah leluhur sepertimu.”

Bisa saja sekilas ucapannya terdengar macam iklan penginapan. Datanglah! Datanglah! Menginaplah! Lalu ada tarifnya. Tapi tidak! Katanya, kapan pun aku datang dan menginap, mau tiga puluh kali dalam setahun, gratis.

Masa, sih? Tapi berarti tamu marae punya kewajiban lain seperti membantu pekerjaan di Marae selain merapikan tempat tidur yang ia baringi?

“Bahkan kamu tidur-tidur saja berhari-hari pun, tak akan ada yang protes. Selama tak langgar kesucian Marae,” dia berkata serius. Lelaki Maori ini memang belum pernah kulihat tersenyum. Tapi aku memercayai ucapan nir-senyum dari lelaki ini. “Bila kau kelaparan pun, kau bisa mampir dan ikut makan bersama kami di marae.”

Masih ada banyak lagi yang ia katakan tentang kehidupan Maori dan marae. Ucapannya tentang pelayanan marae membuatku tercenung. Juga terkagum-kagum. Bangsa yang keberadaannya bisa dikatakan minoritas di Selandia Baru, masih memiliki kehebatan yang luhur.

Dari Hongi Sampai Hangi

[caption id="attachment_261461" align="alignleft" width="300" caption="bersama warga hirangi marae (dok. syamar)"]

13774323401784184709
13774323401784184709
[/caption] Bagi yang beruntung, seorang pejalan bisa menemukan keajaiban. Bertemu saudara se-Hawaiki dan menikmati sambutan mereka, adalah salah satu keajaiban yang kudapat. Keramahan mereka terasa dari mulai salam hongi hingga jamuan hangi.

Hongi adalah cara bersalaman ala Maori dengan saling menempelkan ujung hidung. Pada upacara Powhiri, saya menyalami para tetua Maori. Belasan bila tak puluhan. Salam yang hangat. Hanya saja saat itu saya sedang gagap cuaca. Kondisi tubuh sedang tak prima. Sehabis hongi, hidungku meler. Pilek.

Hangi lain lagi. Makanan yang diproses khusus. Mirip cara bakar batu yang ada di tanah Papua dan konon juga ada di banyak pulau di Pasifik. Initinya, semua bahan makanan, daging, sayuran, umbi-umbian, di masukkan ke lubang. Lalu lubang ditutup dan dibakar atasnya. Lama kemudian semua matang dan siap disajikan. Aku bukan penikmat kuliner dalam koridor wisata. Tapi yang menyenangkan, hangi membuat makanan tetap memiliki rasa asli. Bukan rasa makanan yang khianati bumbu.

Masih banyak lagi keunikan Maori yang kutemui dalam perjalanan kali itu. Mulai dari diskusi pertanian tradisional atau “indigenous permaculture” hingga perpisahan yang dimeriahkan dengan atraksi tari haka yang gagah. Yang pasti, perjalanan selintas menyinggahi saudara-saudara se-Hawaiki yang kini menghuni tanah Aotearoa, Selandia Baru, adalah perjalanan yang memberi kesan mendalam.

Kia ora, brother!” kugenggam erat tangan beberapa kawan Maori, saudara muda se-hawaiki, ketika berpisah. Saya tak berani bersalam hongi. Pilek sudah menjadi-jadi. Kia ora, selain sapaan halo, juga bisa dipakai untuk bilang terima kasih.

# # #

[SyamAR; Cijapun, malam 17 Agustus 2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun