Mohon tunggu...
Syam Asinar  Radjam
Syam Asinar Radjam Mohon Tunggu... Petani - petani

petani

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kota Pematah Hati

22 Januari 2025   11:24 Diperbarui: 22 Januari 2025   11:24 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tapi sang penambang asal Banten, mayoritas memang asal sana, mengaku harga tersebut adalah harga di konsumen. Di lapangan, angka tersebut dibagi empat. “Satu bagian untuk “yang punya gunung”, satu untuk truk, satu untuk biaya muat ke atas truk, sisanya untuk saya.”

[caption id="attachment_211495" align="alignnone" width="600" caption="penambang batu di Bukit Camang (dok. Syam)"]

13539517581604185688
13539517581604185688
[/caption]

Bencana Ekologis

“Praktik pertambangan berbanding lurus dengan proses terjadinya bencana ekologis. Menurunnya fungsi ekologis, terganggunya sistem sosial dan budaya akibat praktik pertambangan, memicu meningkatnya risiko bencana,” kata Ambon yang kini dipercaya menjadi koordinator Jaringan Advokasi Tambang.

Saya teringat ketika dibonceng bersepeda motor oleh satu karib, Firman Seponada. Sekadar melihat-lihat kembali cinta masa kecil saya. Saya terkesan dengan satu gunduk bukit. Di lereng-lerengnya bermunculan perumahan mewah dan hotel. Tapi jejak bahwa di sini pernah subur hutan buah masih terlihat. Terkupas juga oleh penambangan bahan galian C.

“Ini bukit Rasuna Said, Om!” terang Firman saat mengantar saya jelajah kota dengan sepeda motor. “Dinamai begitu karena letaknya dekat Jl. Rasuna Said yang kita lewati ini. Aslinya bernama bukit Lungsir” susul Firman menimpa pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepala saya.

Bukit Rasuna Said menjadi salah satu kawasan serapan air yang memberi dampak langsung pada warga Bandar Lampung. Dulu, bila musim kemarau datang panjang, warga kota kesulitan air bersih, berbondong-bondonglah warga ke sumber mata air yang terdapat di bukit ini. Kini sejak bukit lungsir dialihfungsikan, berkah itu berubah bencana. Sumber air itu hilang. Banjir berikut longsor menerjang rumah penduduk dan menggenanginya dengan lumpur.

Bandar lampung termasuk daerah rawan ketersedian air tanah. Kehancuran bukit-bukit berarti merusak sumber-sumber air masyarakat. Bukan cuma yang terjadi pada bukit Lungsir. Warga Way Gubak kaki bukit Balau di Kecamatan Panjang kerap terpaksa bolak-balik sejauh dua kilometer demi mencari air bersih untuk minum ketika kemarau parah hadir seperti pada tahun 2011. Pilihan sumber air minum lain tak tersedia. Air PDAM tak cukup. Keran sering mati. Air Laut tak dapat diminum.

Warga Kelurahan Gedong Air, Kecamatan Tanjungkarang Barat, pun tak dapat lagi mengandalkan sumur sebagai sumber air bersih. Ketika kemarau mereka memburu dan bersedia antre panjang demi air dari sebuah sumur dalam di Bukit Benda. Satu kilometer dari pemukiman. Saking banyaknya pencari air, sediaan air di sumur kadang tak cukup.

Ketika bercengkrama bersama sejumlah kawan di sekretariat Watala, Jl. Teuku Umar, saya terperangah oleh satu cerita. Atap rumah perkumpulan pecinta alam tertua di Bandarlampung itu pernah digapai banjir pada 2008. Banjir besar 18 Desember 2008 itu merendam pula hampir seluruh wilayah kota Bandar Lampung.

Banjir besar di Bandarlampung berkait dengan kerusakan ekologis bukit-bukit di sana. Firman Seponada, yang pernah aktif bergiat di Walhi Lampung bercerita panjang lebar tentang banjir di Bandar Lampung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun