Mohon tunggu...
Syam Asinar  Radjam
Syam Asinar Radjam Mohon Tunggu... Petani - petani

petani

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kota Salah Nama

1 April 2011   07:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:13 2041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_98968" align="alignright" width="300" caption="Di bawah jembatan Amanat Penderitaan Rakyat, salah satu sudut kota Palembang Modern. (dok. Pribadi)"][/caption]

“Jangan-jangan kota salah nama,” duga saya. Duga yang datang ketika seorang kawan bertanya bila Palembang berasal dari kata pelimbang yang berkait dengan kegiatan mendulang emas, lalu dimanakah tambang emas itu tertempat? Atau timah?

Bila ada kota yang muncul di atas rawa-rawa, itulah Palembang. Meski sekarang tercatat luas rawa yang tersisa hanya 7.300 hektar yang oleh Walhi Sumsel disebut menyusut dari 22.000 hektar, sebuah referensi kiralogi (ilmu kira-kira) menyebut 40 s.d 60 % daratan Palembang merupakan rawa.

Keberadaan rawa yang menjadi habitat banyak mahluk air salah satunya ikan betok, membuat orang Palembang yang dikenal sebagai para pakar (pacak bekelakar), menyebut kelakarmereka Palembang-an kelakar betok. Reklamasi rawa atau sepertinya lebih pas dinamai derawaisasi yang dilakukan pengelola daerah hanya mengurangi populasi ikan betok tanpa mengurangi daya kelakar.


[caption id="attachment_98963" align="alignleft" width="300" caption="Memerhatikan Iis, penambang rakyat yang sedang mengolah sisa-sisa kandungan emas di Lebong, Muara Aman, Bengkulu (dok. Abazachingae)"][/caption]

Maaf ngelantur. Tapi keberadaan rawa berkait dengan jawaban bila ditanya dimana lokasi penambangan yang membuat nama Palembang dikait-kaitkan dengan kegiatan penambangan. Arkeolog senior, Gugun Betawi, terkekeh-kekeh menjawab keingintahuan saya. Lagi pula selain rawa di Palembang dan luapan lumpur dari ulu yang menyebabkan sedimentasi dimana-mana, teknologi pertambangan masa lalu pastilah tak meninggalkan jejak sedahsyat tambang emas milik Freeport dan Newmonster (bukan nama sebenarnya) atau kolong-kolong (lubang) gali timah di darat Bangka Belitung.

Nurhadi Rangkuti, kepala Balai Arkeologi Palembang, yang mendalami arkeologi lahan basah (wetland archaeology) juga berpendapat senada. Palembang kuno, terutama bila berkait sejarah Sriwijaya yang dianggap berpusat di sini memang banyak menyisakan kota di bawah kota, tersimpan dalam tanah dan rawa. Tapi sangat sulit menemukan tempat me-limbang emas di titik yang menjelma menjadi kota besar bernama Palembang.

Kata Palembang sendiri diduga sudah sangat tua. Walau kini sedang mulai banyak ditulis Abdul Azim Amin bahwa Palembang berasal dari bahasa Arab Fa-Lin-Ban,  tapi keberadaannya sudah disebut-sebut dalam catatan tua para pengembara Cina. Sebagai Pa-lin-fong dalam kronik Chu-fan-chi (1225). Tua sekali itu. Bagaimana bisa temukan jejak penambangan berteknologi sederhana di sana, sedang jejak kota tambang minyak modern di Talangakar yang belum berumur seabad pun macam kota dalam dongeng.

Kegenitan untuk menjawab pertanyaan satu kawan mengantarkan saya bepergian jauh jauh jauh mengulu air Musi. Ke tempat-tempat yang pernah mashyur sebagai tempat penambangan emas. Mendapati tambang emas tua di Lebong, Bengkulu. Belanda pernah memboyong 1 ton emas saban tahun dari sini. Tapi tambang emas di Lebong ternyata jauh sekali dari alir ulu Musi, usaha saya mencoba mengait-ngaitkannya dengan pelimbang adalah ke-lebay-an level 9.

Titik bangkai tambang emas lainnya, di Musi Rawas. Titik bumi yang pernah dikeruk PT Barisan Tropical Mining atau biasa disingkat BTM (milik Laverton Gold Australia) selama 5 tahun (1997 – 2001), lalu habis dikeruk lubang raksasa ditinggal. Dari sini pernah mengalir bahan pencemar ke Sungai Tiku. Tiku terhubung dengan salah satu anak sungai Musi. Meski Safaruddin Yassa —karib lama yang banyak mendampingi proses advokasi konflik masyarakat dan BTM— menceritakan penambangan rakyat dengan “teknologi” melimbang (mendulang) sudah dilakukan jauh sebelum era-republik dan masyarakat sini berperahu mencapai Palembang, saya kira saya sedang melakukan ke-lebay-an kedua.

Sadar lebay karena teringat Prabumulih. Banyak orang sangka, nama dusunlaman (kampung halaman) saya ini berasal dari dua kata dalam bahasa jawa; Prabu (raja) dan Mulih (pulang). Ditafsirkan pula nama ini berkait dengan legenda kesinggahan mahapatih Gajahmada di sini. Tapi saya lebih percaya versi lain yang tak mengait-ngaitkan kata “raja” dan “pulang”. Empat pendiri kampung menamai tempat yang sedang mereka bangun dengan Pehabung Uleh. Uleh berarti mendapat atau memperoleh, pehabung berarti melimpah. Bagaimana menjadi Prabumulih pastilah persoalan lidah. Konon lidah orang-orang Jepang pra-45 yang sempat menduduki Pehabung Uleh-lah penyebabnya.

Teringat pula tentang nama satu pulau kecil di Musi. Di hilir pulau kemaro nan terkenal dengan legenda emasnya. Di peta resmi, kini pulau yang saya ingat itu bernama Pulau Salah Nama. Kenapa dinamai begitu, ada ceritanya.

Konon, kepada satu tukang  perahu, seorang Belanda yang sedang berbiduk di air Musi menanyakan nama pulau yang ia lihat. Tukang perahu menjawab. Sang Belanda bertanya lagi karena tak mendengar jelas. Tukang perahu kembali menyahut. Sang Belanda ulang bertanya karena takut salah dengar. Tukang perahu memberi simbat kepada Sang Belanda. Sang Belanda tak yakin pendengarannya benar maka dia tanya ulang. Begitulah seterusnya. Jangankan saya yang cuma mencatat atau anda yang tinggal membaca, tukang perahu pun lama-lama mangkel dan menjawab kesal, “Keleeeeentiiiit!”

Nama asli pulau itu terang tak berkait dengan alat kelamin yang umum disebut klitoris. Tapi kemudian pulau itu sempat lama dikenal sebagai Pulau Kelentit, sampai kemudian perlu diberi nama ulang demi kehalusan budaya. Jadilah dia Pulau Salah Nama.

Jangan-jangan, asal nama Palembang pun, juga begitu. Jangan-jangan sama sekali tak berkait tempat melimbang emas atau timah. Apalagi ketika membaca catatan Uli Kozok tentang Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua (terbitan Yayasan Obor, 2006). Di sana disebut-sebut kata Perlimbang yang limbang-nya punya arti selain “mencuci” emas. Catatan Uli Kozok mengutip Wilkinson yang merujuk pada kutipan Sejarah Melayu menyebut perlimbang berarti “tanah rendah”. Lawan katanya “mahameru” sebagai “tanah tinggi”.

Ya sudah. Tak perlu panjang-panjang. Ambil aman saja. Ketimbang diprotes orang banyak lantaran catatan tentang kota salah nama atau kota yang namanya disalahtafsirkan atau apalah  ini lebih mirip jadi bual salah tulis. ###

#ZiarahSumatraVersiSukaSuka

1301642611826765817
1301642611826765817

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun