Teringat pula tentang nama satu pulau kecil di Musi. Di hilir pulau kemaro nan terkenal dengan legenda emasnya. Di peta resmi, kini pulau yang saya ingat itu bernama Pulau Salah Nama. Kenapa dinamai begitu, ada ceritanya.
Konon, kepada satu tukang perahu, seorang Belanda yang sedang berbiduk di air Musi menanyakan nama pulau yang ia lihat. Tukang perahu menjawab. Sang Belanda bertanya lagi karena tak mendengar jelas. Tukang perahu kembali menyahut. Sang Belanda ulang bertanya karena takut salah dengar. Tukang perahu memberi simbat kepada Sang Belanda. Sang Belanda tak yakin pendengarannya benar maka dia tanya ulang. Begitulah seterusnya. Jangankan saya yang cuma mencatat atau anda yang tinggal membaca, tukang perahu pun lama-lama mangkel dan menjawab kesal, “Keleeeeentiiiit!”
Nama asli pulau itu terang tak berkait dengan alat kelamin yang umum disebut klitoris. Tapi kemudian pulau itu sempat lama dikenal sebagai Pulau Kelentit, sampai kemudian perlu diberi nama ulang demi kehalusan budaya. Jadilah dia Pulau Salah Nama.
Jangan-jangan, asal nama Palembang pun, juga begitu. Jangan-jangan sama sekali tak berkait tempat melimbang emas atau timah. Apalagi ketika membaca catatan Uli Kozok tentang Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua (terbitan Yayasan Obor, 2006). Di sana disebut-sebut kata Perlimbang yang limbang-nya punya arti selain “mencuci” emas. Catatan Uli Kozok mengutip Wilkinson yang merujuk pada kutipan Sejarah Melayu menyebut perlimbang berarti “tanah rendah”. Lawan katanya “mahameru” sebagai “tanah tinggi”.
Ya sudah. Tak perlu panjang-panjang. Ambil aman saja. Ketimbang diprotes orang banyak lantaran catatan tentang kota salah nama atau kota yang namanya disalahtafsirkan atau apalah ini lebih mirip jadi bual salah tulis. ###
#ZiarahSumatraVersiSukaSuka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H