Mohon tunggu...
Syam Asinar  Radjam
Syam Asinar Radjam Mohon Tunggu... Petani - petani

petani

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Sengguk Sapi di Ladang Minyak

23 Mei 2023   00:49 Diperbarui: 23 Mei 2023   00:57 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sisa kemegahan masih ada hingga kini. Sebuah bandara hantu ada di sana. Dulu dipakai orang-orang Stanvac untuk bepergian dari Pendopo “tembak langsung” ke Jakarta. Stanvac meninggalkan pula lapangan golf di sana. Pernah disebut-sebut padang golf terbaik se-Asia Tenggara. Ia menjadi tempat berlangsungnya turnamen bergengsi yang tak bisa dimainkan di padang golf Prabumulih yang berskala cukup wah tapi tak cukup syarat untuk event kelas tinggi!

Belum lagi fasilitas olahraga dan hiburan lainnya macam lapangan tenis, kolam renang, perpustakaan megah, atau gedung Arsendora (Arena Seni dan Olahraga) yang meski sudah mulai tampak kusam, di dalamnya ada bioskop, arena bermain bowling, dll.

Aneka kemegahan warisan aktifitas ekspoitasi minyak dan gas bumi di Pendopo sangat kontras di luar kompleks perumahan. Era jaya minyak di sana, melahirkan “pengkelasan” warga kota. Sejumlah sahabat ketika mengenang masa kecilnya sebagai orang pendopo luar kompleks menyebut, “kami disebut budak talang. Anak kampung. Sementara anak-anak minyak disebut budak gedongan. Kesannya, beda kelas.”

Budak berarti anak dalam bahasa Palembang. Budak kecik berarti anak kecil. Sejumlah besar fasilitas di dalam kompleks Pertamina tentu tak bisa dinikmati budak talang.

Saya terkenang pengalaman masa kecil saya di Prabumulih. Untuk bisa numpang membaca di Perpustakaan dalam kompleks , saya mesti membonceng teman sekolah, anak karyawan Pertamina. Yang paling menyenangkan, lantaran menyusup ke sana, saya bisa berkenalan dengan Yakari, komik Indian Sioux Kecil karya Derib + Job (Claude de Ribaupierre dan André Jobin) yang fantastis di gambar pun cerita.

Untuk bisa berenang di sembat juga saya turut membonceng. Di sejumlah kompleks Pertamina memang ada kolam renang yang umum disebut sembat. Kata sembat berasal dari kata dalam Bahasa Belanda “zwembad" yang berarti kolam renang.

Tapi siapa sangka perbedaan kesempatan untuk mendapat “kenikmatan” hasil eksploitasi migas tak hanya terjadi antara “budak gedongan” vs “budak talang”? Satu teman sekolah saya yang pernah tinggal di kompleks Pertamina Pendopo bercerita sambil geleng-geleng kepala. “Di Prabumulih masih enak. Perbedaan mengakses fasilitas cuma antara orang dalam dan orang luar kompleks. Di Pendopo parah. Karyawan Stanvac dan Pertamina juga dibedakan.”

“Pengen berenang di sembat bae aku pernah hampir dilarang,” kenangnya geram. “Untungnya bapakku dikenal sebagai pengurus beberapa cabang olahraga di Pertamina. Akhirnya dibolehkan masuk sembat tapi diingatkan untuk tidak bawa kawan-kawan lain.”

Pikiran saya kembali tergiring oleh sapi-sapi dan sang bocah gembala di kompleks Pertamina Pendopo. Beruntung nian para sapi yang diangon si bocah, saat produksi minyak dari lapangan minyak Pendopo terus merosot, sapi dan gembalanya tak dilarang mengakses lapangan rumput di sana. Ha ha!

Jangan-jangan karena memang sapi hewan istimewa dan punya jasa bagi dunia perminyakan Pendopo. Pernah terintip di sebuah foto dalam buku sejarah perminyakan Selatan Sumatra. Jauh sebelum teknik pengiriman minyak bumi menggunakan jalur pipa, minyak bumi diangkut dengan gerobak tangki yang ditarik sapi. Suatu masa di zaman silam.

Keasyikan sapi yang tersengguk-sengguk menyenggut rumput membuat saya menghayal masa depan Pendopo. Saat kilau sektor migas di sini memudar lalu belakangan investasi skala besar dalam wujud hutan tanaman industri jenis akasia (acacia mangium) untuk bahan bubur kertas (pulp) dan sawit datang mengepung. Jangan-jangan pertanian dan peternakan rakyatlah masa depan Pendopo. Bukan investasi skala besar milik maskapai raksasa yang sekadar mengubah kultur petani menjadi pekerja bisnis pertanian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun