[Juga dicatatkan sebagai kekaguman pada Nang Seno]
[caption id="attachment_77802" align="alignright" width="300" caption="jenis-jenis bunga samara atau bunga bersayap"][/caption] Khayalan, imajinasi, impi adalah wahana transportasi paling canggih yang dimiliki manusia. Khayalan hanya butuh sepersekian detik untuk mengantarkan kita ke tempat lain, masa lain, dimensi lain, dunia lain. Mungkin lebih cepat dibanding 1/1000 detik yang dibutuhkan Retsu Ichijouji untuk berubah wujud jadi Gaban.
Sama halnya dengan khayal. Impi di kala lelap mata terpejam mengantarkan saya kopi darat dengan orang-orang terkasih yang tak mungkin tertemui lagi, orang-orang tak dikenali, dan yang bukan orang.
Sebagai alat bepergian, khayalan pastilah pula lebih canggih dari sakadar baling-baling bambu atau pintu kemana saja rekaan Fujiko F. Fujio. Lebih canggih ketimbang lubang cacing yang mengantarkan Rhapsonaldy ke dunia para Heneky.
Mengendarai khayalan Cyrano de Bergerac dan Jules Verne bahkan pendongeng-dongeng purba sudah mencapai bulan jauh sebelum Edwin Aldrin dan Neil Armstrong diberitakan menginjak permukaan bulan. Bila corat-coret da Vincy (yang saat itu mungkin beliau sekadar iseng) memang dimaksudkan untuk helicopter --bukan pembangkit listrik nan luar biasa seperti yang dikemukakan kalangan pendebat, maka sang pawang Monalisa ini sudah terantarkan oleh khayalannya ke satu masa. Masa yang lebih keren ketimbang saat helikopter Apache AH-64 milik Amerika Serikat memerahkan tanah Panama, Bosnia, Kosovo, dan Irak. Demikian juga dengan satu corat-coret da Vinci yang dikenal dengan ornihopter.
Sekitar 1 dekade silam, saat krisis energi sudah mulai jadi isyu kawan-kawan pemerhati, saya sempat bertemu Lang Ling Lung. Perkenankan saya menamai sang jenius dan eksentrik begitu. Seperti tokoh jenius dalam khayalan Walt Disney. Laboratorium yang saya kunjungi mirip dengan lapak barang bekas. Keadaannya mengingatkan saya pada The Jones Salvage Yard, di Rocky Beach. Itu, lapak barang bekas milik Paman Titus, yang jadi sangkar Jupe, Pete, dan Bob. Trio detektif rekaan Alfred Hitchcock.
Di sana terpancang sebuah kincir angin model sumbu ulir temuan sang Jenius. Dirangkai dengan bahan bekas. Pada saat itu kalau tak salah ingat, selain dimanfaatkan untuk memompa air dari sumur, kincir sumbu ulir bisa dipakai untuk membangkitkan listrik hingga 2500 watt. Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di Kampung Nyomplong, kampung terdekat dengan tempat saya berkebun (Cijapun), yang hanya sekitar 30 rumah, cukup 5-6 kincir. Atau besarkan saja kincirnya! Biayanya saat itu saya taksir sekitar 25 juta rupiah per unit. Sementara angka subsidi listrik pada masa itu hanya tujuh per sepuluh jumlah kerugian negara yang katanya digondol Bank Century.
Um, bayangkan berapa banyak pembangkit listrik macam ini bisa dibangun dengan dana subsidi atau yang kelak dicolong maling duit negara? Berapa kekuatan energi dibangkitkan? Berapa jumlah desa terterangi? Hanya dengan merangkul kekuatan angin yang selalu dihembuskan alam.
Sementara satu dekade lalu, rezim sedang termehek-mehek mengubah Undang-Undang kelistrikan, dan sibuk aksi tari perut di depan calon penanam modal asing yang meneteskan liur untuk membangun pembangkit listrik raksasa. Semuanya berbasis bahan bakar fosil (11 batubara, 6 gas alam, dan 9 panas bumi).
Masih banyak temuan Lang Ling Lung yang sederhana tapi luar biasa. Sebuah parabola hitam untuk pemanas air, dan lain-lain. Teristimewa adalah perpustakaannya, berdinding pecahan kaca warna-warni yang dijahit dengan kawat. Ketika sinar matahari menembus dinding… wuih, saya bisa betah berada di dalam perpustakaan penuh buku-buku teknik tak saya mengerti itu.
Kembali ke Lang Ling Lung. Dia adalah Nang Seno, begitu Mohammad Setia Aji Sastroamidjojo menyebut namanya di hadapan kami yang bertamu. Seorang Master Nuklir lulusan Massachussetts Institute of Technology (MIT) dan University of California Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat ini tergila-gila pada energi terbarukan. Berpasang dengan dr. Pustika, mereka adalah orang tua Seno Gumira Ajidharma, teman si Sukab.
Kembali ke kendaraan khayalan. Pada kesempatan itu Lang Ling Lung, eh Nang Seno menunjukkan sebuah prototipe kendaraan terbang. Hanya sebentuk bilah. Kalau tak salah penelitian ia lakukan ditemani seorang mahasiswanya. Atau barangkali sang mahasiswa lah yang meneliti dan ditemani Nang Seno. Lupa persisnya.
Kendaraan dalam khayal Nang Seno itu bisa terbang tanpa mesin. Mirip semacam layang-layang. Tapi tanpa tali. Bentuknya tipis, selonjong kelopak tipis yang menyelubungi se-tumpus biji mahoni. Agak melengkung pula.
Cara kerjanya begini; meluncurlah bersamanya dari satu titik tinggi. Setiap turun 1 meter vertikal, ia akan mengantarkan anda sejauh 1 kilometer horizontal. Dengan penghitungan ini, bila titik awal peluncuran adalah Puncak Carstenz di pegunungan Jayawijaya (Papua Barat), hanya butuh satu stasiun peluncuran kecil untuk mencapai Sabang (NAD). Jarak (garis lurus) Sabang- Merauke sekitar 5244 km. tentu dengan mengabaikan penghalang macam gunung atau gugusan bukit, gedung tinggi, menara BTS provider telpon selular, pohon, dan tiang listrik. Tanpa mesin tanpa energi berbayar.
Sembari mendengar tutur Nang Seno, ingatan saya berlari ke buah pohon merawan. Buah bersayap atau disebut samara. Merawan adalah nama lokal pohon yang kayunya kelas atas di kampung saya. Saya tak menemukan nama latinnya. Salah satu jenis buah samara adalah meranti (Shorea roxburghii).
Pada prototipe kendaraan Nang Seno hanya satu bilah sayap, pada merawan bilahnya seingat saya sepasang meski kadang lebih dari dua. Bila sedang musim buahnya merawan jatuh, sayapnya berkitir, akrobat mereka di udara jadi pemandangan yang saya suka di masa kecil. Menjumputi satu-satu mereka yang tergeletak di tanah dan melemparkan kembali ke udara mirip memencet tombol mesin penimbul rasa girang.
Suatu hari, bendera setengah tiang banyak berkibar. Dari radio saya akhirnya tahu. Soeharto, simbol Orde Baru meninggal dunia. Saat yang sama saya sedang pusing tujuh keliling berputar-putar kawasan Sambisari, mencari workshop Nang Seno. Dan setelah melacak jejaknya dengan berkirim SMS ke beberapa sahabat termasuk kawan yang dulu aktif beberapa organisasi lingkungan, ternyata Nang Seno sudah berpulang. Workshopnya ikut redup sepeninggalnya.
Sembari mengenangkan Nang Seno berikut kendaraan ajaibnya (serta kincir sumbu ulir yang bila kesampaian saya ingin ia ada di Cijapun) saya berkhayal di tepi Cijapun tumbuh sepokok pohon merawan. Duduk berlindap di bawahnya membaca khayalan-khayalan tercatat milik para pengkhayal agung. Mereka yang lahir mendului zaman. Mereka yang tak pernah mengira bahwa khayalan mereka pada akhirnya ternyata niscaya. Mereka yang secara tak sadar mengilhami orang-orang malas macam saya untuk berhayal. Macam Karl May yang khayalnya mengarungi Tanah milik bangsa Indian, menjadi Old Shatterhand. Menenteng sang pembunuh beruang, senapan laras gandanya. Membela yang betul-betul perlu dibela.
Lalu pergi kemana saja berkendara khayalan sendiri. Mudah-mudahan bukan khayalan yang bukan-bukan.
[SyamAR; Cijapun - LeBul, 30 Ramadhan – 1 Syawal 1431 H]
Ilustrasi dioprek dikit dari hasil nyomot di Red-Castle
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H