Untuk diketahui, PDIP (dahulu PDI) selama berpuluh-puluh tahun di masa Orde Baru hanya mempunyai nomor urut ke-3.
Hal serupa juga berlaku untuk PKB yang diuntungkan dengan nomor urut 1, memudahkan dalam kampanye dan sosialisasi.Â
Namun, pasangan Prabowo dan Gibran dengan nomor urut 2 mendapat sorotan khusus, terkait identitas historis nomor tersebut dengan masa Orde Baru, yang mengingatkan pada kekuatan Golkar memiliki nomor urut ke-2 dan peran Prabowo sebagai mantan menantu Soeharto.
Di Pilpres 2014, Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa melawan Jokowi-JK, hasil pengundian Prabowo-Hatta mendapatkan nomor urut ke-1, dan ketika Pilpres berlangsung Prabowo dipaksa untuk mengakui keunggulan Jokowi-JK.
Begitu pula saat bertarung di Pilpres 2019, Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga Uno mendapatkan juga mendapatkan nomor urut ke-2, dan nomor 2 memang begitu menyakitkan baginya karena saat itu Prabowo juga kalah dari Jokowi-Ma'ruf Amin.
Dengan kata lain, baik saat mendapatkan nomor urut 1 maupun ketika mendapatkan nomor urut 2, Prabowo Subianto tak sekali pun bisa memenangkan Pilpres yang diikutinya.Â
Termasuk juga saat mendampingi Megawati Sukarnoputri di Pilpres 2009, dimana pasangan Mega-Prabowo mendapatkan nomor urut ke-1. Ketika itu, Pilpres dimenangkan oleh pasangan nomor urut 2, SBY-Boediono.
Pertanyaannya, apakah polemik ini sekadar sejarah nominal atau memiliki implikasi nyata pada pilihan pemilih? Pada akhirnya, nomor urut hanyalah satu aspek dalam perjalanan panjang menuju pemilihan presiden yang adil dan transparan.
Diakui atau tidak, penulis menilai setidaknya PKB, Gerindra, dan PDIP akan memanfaatkan nomor urut capres dan cawapres yang kebetulan sama dengan nomor urut partai mereka.Â