Ketika itu, AHY terpaksa harus melepaskan pangkat mayornya agar bisa menjadi calon gubernur DKI Jakarta yang disandingkan dengan Sylviana Murni sebagai calon wakil gubernurnya. Namun, kenyataannya AHY dan Sylviana Murni harus tersungkur kalah di tahap pertama Pilkada DKI 2017.
Dengan kekalahan AHY ini, tentu saja AHY sudah kehilangan kesempatan emasnya untuk mengejar karier militernya hingga bisa sejajar dengan pangkat militer dari bapaknya, pamannya, atau bahkan juga kakeknya Sarwo Edie Wibowo.
Pengalaman AHY inilah, yang setidaknya bisa dijadikan pelajaran bagi Jokowi agar tidak begitu saja memaksakan  kehendaknya agar Gibran harus ikut serta dalam konstelasi Pilpres 2024, yang begitu terbuka lebar kesempatan itu karena pengaruh bapaknya.
Kita semua mahfum, pengalaman mengajarkan kita bahwa memaksakan seseorang yang belum matang secara mental untuk memimpin sebuah bangsa akan berakhir pada kegagalan yang besar. Â
Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya pemilihan pemimpin yang bijak dan kompeten dalam suatu pemerintahan. Beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari situasi semacam ini adalah:
1. Ketidakmatangan mental dapat merusak keputusan.
Memimpin sebuah negara membutuhkan ketegasan, rasa tanggung jawab, dan kebijaksanaan. Seseorang yang belum matang secara mental mungkin tidak memiliki kemampuan ini, sehingga keputusan yang dibuat dapat merugikan banyak orang.
2. Dampak negatif pada stabilitas politik.
Kegagalan seorang pemimpin yang belum matang secara mental dapat mengganggu stabilitas politik dan sosial. Proses pengambilan keputusan yang impulsif dan tidak terencana dapat menciptakan konflik dan ketidakpastian.
3. Kerugian ekonomi dan sosial.
Kepemimpinan yang tidak matang secara mental dapat berdampak buruk pada ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan yang tidak berdasar pada fakta dan data yang tepat dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kualitas hidup masyarakat.