Skripsi dihapus atau tidak wajib lagi bagi mahasiswa? Loh, kok baru sekarang, mengapa tidak dari dulu?
Masalah skripsi memang selalu jadi momok bagi setiap mahasiswa di tingkat akhir. Setidaknya itulah juga yang pernah penulis rasakan.
Meskipun penulis hanya lulusan pendidikan vokasi dari Polteknik Universitas Indonesia (kini menjadi Politeknik Negeri Jakarta) yang setingkat Diploma III, yang ketika itu ada kewajiban untuk menyusun skripsi.Â
Mungkin, jika sekarang harus menyusun skripsi, penulis merasa yakin tidak perlu waktu lama untuk membuatnya. Bukan karena penulis sudah "agak" mahir dalam merangkai kata dalam tulisan, tetapi juga data dan informasi yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi begitu mudahnya didapatkan saat ini.Â
Bahkan, saat ini kita bisa lebih dipermudah dengan bantuan teknologi AI (Artificial Intellegence), terutama dalam hal analisis data, pengolahan bahasa alami, dan aspek teknis tertentu.Â
Meskipun begitu, AI tidak menggantikan kreativitas, penelitian, dan pemahaman mendalam yang diperlukan dalam proses menyusun skripsi.Â
Karena penyusunan skripsi itu pula, penulis tidak bisa lulus tepat waktu seperti yang lain. Penulis harus membayar satu semester lagi untuk bisa menyelesaikan kewajiban menyusun skripsi sebagai syarat kelulusan.Â
Maklum, sekitaran tahun 1997-an, penulis belum mempunyai perangkat komputer atau laptop.Â
Dalam menyusun skripsi, penulis menggunakan mesin tik yang kemudian bila sudah ada revisi atau perbaikan, diketik ulang di rental komputer yang ada di dekat kampus atau di rental lainnya yang begitu marak saat itu.
Ketika ada suatu pengalaman, disket yang saya gunakan untuk menyimpan data skripsi terpapar virus, bukan kepalang paniknya penulis saat itu. Beberapa bab yang sudah diketik hilang entah ke mana? Itulah bagian pengalaman yang tak bisa dilupakan.
Bahkan, soal skripsi pula yang belum juga disusun, dua orang teman yang kebetulan sudah bekerja di perusahaan tempatnya magang harus drop out, sehingga mereka tidak berhak mengikuti wisuda kelulusan.
Nah, sekarang ini, ketika skripsi sudah tidak lagi wajib atau bahkan dihapuskan sebagaimana yang keputusan dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, tentu saja setiap perguruan tinggi punya wewenang bagaimana menilai kelulusan mahasiswanya.
Jika skripsi tidak lagi menjadi syarat kelulusan bagi mahasiswa di perguruan tinggi, ada beberapa alternatif yang dapat dijadikan bukti atau ukuran kemampuan akademik dari seorang mahasiswa.Â
Kita bisa mengadopsi praktik yang sudah terbukti di negara-negara maju bisa menjadi inspirasi. Beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan, antara lain:
1. Proyek Akhir/Portofolio.
Mahasiswa dapat diminta untuk menyelesaikan proyek akhir yang mencerminkan pemahaman mereka tentang bidang studi tertentu.Â
Proyek ini bisa berupa penelitian, pengembangan produk, atau solusi untuk masalah yang relevan dengan bidang studi mereka. Mahasiswa dapat mengumpulkan hasil proyek ini dalam bentuk portofolio yang menunjukkan perkembangan dan pencapaian mereka selama masa studi.
2. Tugas Terstruktur.
Perguruan tinggi dapat memberikan tugas-tugas terstruktur yang mencakup berbagai aspek materi kuliah. Tugas-tugas ini dirancang untuk mengukur pemahaman, analisis, dan sintesis mahasiswa terhadap materi yang diajarkan.
3. Ujian Profesional.
Mengadopsi ujian profesional atau sertifikasi dalam bidang studi tertentu sebagai persyaratan kelulusan. Ini dapat memberikan gambaran konkret tentang kemampuan mahasiswa dalam menguasai materi dan keterampilan yang diperlukan untuk bekerja dalam industri terkait.
4. Kursus Online.
Perguruan tinggi bisa menjalin kerja sama dengan platform pembelajaran online atau universitas di luar negeri untuk memberikan kursus tambahan yang dapat diambil oleh mahasiswa. Sertifikat atau prestasi dalam kursus ini dapat menjadi bukti tambahan tentang kemampuan akademik mahasiswa.
5. Penelitian Kolaboratif.
Mahasiswa dapat terlibat dalam proyek penelitian kolaboratif dengan dosen atau kelompok peneliti. Ini tidak hanya mengembangkan kemampuan akademik mereka, tetapi juga mengajarkan kolaborasi dan keterampilan tim.
6. Kemampuan Praktis.
Mahasiswa bisa diuji dalam keterampilan praktis yang terkait dengan bidang studi mereka. Misalnya, mahasiswa ilmu komputer dapat mengembangkan aplikasi atau situs web, sementara mahasiswa seni rupa dapat membuat karya seni nyata.
7. Evaluasi oleh Dosen dan Mentor.
Dosen dan mentor dapat memberikan penilaian dan evaluasi mendalam terhadap perkembangan dan kemampuan akademik mahasiswa selama masa studi.
8. Dan Tentu saja Masih Banyak lagi Cara lainnya.
Yang tidak kalah penting untuk diakui, setiap sistem pendidikan memiliki tujuan dan konteksnya sendiri. Mengadopsi praktik dari negara lain bisa sangat bermanfaat. Akan tetapi, perlu dipastikan bahwa praktik tersebut sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan pendidikan nasional serta mampu mengukur kemampuan mahasiswa kita dengan tepat.Â
Selain itu, tentu saja transisi seperti ini juga memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang matang untuk memastikan bahwa mahasiswa tetap mendapatkan pendidikan berkualitas.
Terima kasih, Mas Menteri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H