Mohon tunggu...
Sukarja
Sukarja Mohon Tunggu... Desainer - Pemulung Kata

Pemulung kata-kata. Pernah bekerja di Kelompok Kompas Gramedia (1 Nov 2000 - 31 Okt 2014)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

BBM Bersubsidi Haruskah Hanya untuk Motor di Bawah 250cc?

29 Agustus 2022   13:33 Diperbarui: 29 Agustus 2022   13:35 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengamat Minyak dan Gas (Migas) Komaidi Notonegoro, di acara dialog interaktif yang digelar PMII di Islamic Center, Surabaya. (Foto: Beritasatu Photo/Amrozi Amenan)

Sobat Kompasianer,

Beberapa hari belakang ini, Pemerintah sepertinya tengah kelimpungan, karena subsidi yang dianggarkan untuk  kuota  Solar dan Pertalite akan segera terserap habis di akhir September nanti, sedangkan tren harga minyak dunia belum juga turun signifikan. 

Dengan kata lain, setelah kuota habis, Pemerintah perlu mengambil kebijakan baru, entah itu menaikan harga BBM Bersubsidi atau meminta DPR untuk kembali menyetujui tambahan anggaran subsidi BBM.

Kedua pilihan tersebut sama-sama berat. Selain tentu saja membebani keuangan negara, tambahan kucuran subsidi BBM jelas akan mengurangi subsidi yang seharusnya bisa masuk ke pos-pos lain, seperti pendidikan dan kesehatan.

Terlebih lagi, subsidi BBM yang selama ini dikucurkan, ternyata dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021, anggaran subsidi yang dikucurkan tidak tepat sasaran. Artinya, subsidi ternyata justru lebih banyak dinikmati masyarakat mampu.

Misalnya untuk Solar Subsidi,  ada sekitar 89% dinikmati oleh dunia usaha dan 11% dinikmati rumah tangga. Namun, dari yang 11% rumah tangga ini, ternyata 95 persennya dinikmati rumah tangga mampu, dan hanya 5% yang dinikmati rumah tangga miskin (petani dan nelayan).

Begitu juga dengan BBM jenis Pertalite, sekitar 14% dinikmati dunia usaha, dan untuk rumah tangga menikmati 86%. Namun, dari 86% yang dinikmati rumah tangga, 80% dinikmati rumah tangga mampu dan hanya sekitar 20% dinikmati rumah tangga miskin.

Infografis Survei Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021/sumber: Twitter.com/KemenkeuRI
Infografis Survei Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021/sumber: Twitter.com/KemenkeuRI

Jika sudah diketahui bahwa subsidi BBM yang selama ini atau bahkan pada pemerintahan sebelumnya juga bisa dikatakan salah sasaran, bukankah lebih baik tak perlu lagi ada subsidi BBM?

Atau bila tidak dimungkinkan tanpa subsidi, Pemeritah perlu mencari solusi agar subsidi benar-benar sampai ke sasaran yang tepat. Misalnya, seperti yang saat ini akan diujicobakan, yakni penggunaan aplikasi MyPertamina. Atau, bisa saja subsidi diberikan langsung kepada penerima melalui catatan kepemilikan kendaraan. Dengan kata lain, subsidi BBM tidak berlaku pada komoditasnya.

Nah, ada juga komentar dari Pengamat Minyak dan Gas (Migas) Komaidi Notonegoro, yang juga Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan bahwa yang bisa beli pertalite hanya pengguna roda dua saja, sedangkan mobil hanya bisa menggunakan BBM non-subsidi. 

Pengamat Minyak dan Gas (Migas) Komaidi Notonegoro, di acara dialog interaktif yang digelar PMII di Islamic Center, Surabaya. (Foto: Beritasatu Photo/Amrozi Amenan)
Pengamat Minyak dan Gas (Migas) Komaidi Notonegoro, di acara dialog interaktif yang digelar PMII di Islamic Center, Surabaya. (Foto: Beritasatu Photo/Amrozi Amenan)

"Subsidi ditujukan untuk masyarakat kurang mampu. Nah kalau sudah mampu beli mobil, masa tidak mampu beli BBM non subsidi," kata Komaidi Notonegoro, seperti dikutip BeritaSatu.com (26/6/2022).

Bahkan, pendapat yang lebih ekstrem datang dari Pengamat Ekonomi Politik Universitas Indonesia Faisal Basri, yang berpendapat pemerintah perlu segera menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM) secara bertahap. 

Menurut mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini, subsidi BBM seperti candu yang membuat konsumen terlena dan menimbulkan ketergantungan.

"Demi kebaikan perekonomian nasional dan kesejahteraan bangsa, secara bertahap subsidi BBM harus dihilangkan," kata Fasial Basri, seperti dukutip CNNIndonesia.com (28/8/2022).

Ekonom Faisal Basri(KOMPAS.com/ANDRI DONNAL PUTERA)
Ekonom Faisal Basri(KOMPAS.com/ANDRI DONNAL PUTERA)

Nah, kesimpulannya ada pada kita semua. Pendapat dua tokoh pemerhati Migas di atas, tentunya penuh dengan kajian akademik, sehingga patut juga dijadikan rekomendasi dan diperhatikan oleh pemutus kebijakan. 

Namun, semuanya berpulang pada Pemerintah, mana yang terbaik untuk rakyat. Bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk kebaikan negeri ini di masa yang akan datang.

Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun