Sobat Kompasianer,
Beberapa hari belakang ini, Pemerintah sepertinya tengah kelimpungan, karena subsidi yang dianggarkan untuk  kuota  Solar dan Pertalite akan segera terserap habis di akhir September nanti, sedangkan tren harga minyak dunia belum juga turun signifikan.Â
Dengan kata lain, setelah kuota habis, Pemerintah perlu mengambil kebijakan baru, entah itu menaikan harga BBM Bersubsidi atau meminta DPR untuk kembali menyetujui tambahan anggaran subsidi BBM.
Kedua pilihan tersebut sama-sama berat. Selain tentu saja membebani keuangan negara, tambahan kucuran subsidi BBM jelas akan mengurangi subsidi yang seharusnya bisa masuk ke pos-pos lain, seperti pendidikan dan kesehatan.
Terlebih lagi, subsidi BBM yang selama ini dikucurkan, ternyata dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021, anggaran subsidi yang dikucurkan tidak tepat sasaran. Artinya, subsidi ternyata justru lebih banyak dinikmati masyarakat mampu.
Misalnya untuk Solar Subsidi, Â ada sekitar 89% dinikmati oleh dunia usaha dan 11% dinikmati rumah tangga. Namun, dari yang 11% rumah tangga ini, ternyata 95 persennya dinikmati rumah tangga mampu, dan hanya 5% yang dinikmati rumah tangga miskin (petani dan nelayan).
Begitu juga dengan BBM jenis Pertalite, sekitar 14% dinikmati dunia usaha, dan untuk rumah tangga menikmati 86%. Namun, dari 86% yang dinikmati rumah tangga, 80% dinikmati rumah tangga mampu dan hanya sekitar 20% dinikmati rumah tangga miskin.
Jika sudah diketahui bahwa subsidi BBM yang selama ini atau bahkan pada pemerintahan sebelumnya juga bisa dikatakan salah sasaran, bukankah lebih baik tak perlu lagi ada subsidi BBM?
Atau bila tidak dimungkinkan tanpa subsidi, Pemeritah perlu mencari solusi agar subsidi benar-benar sampai ke sasaran yang tepat. Misalnya, seperti yang saat ini akan diujicobakan, yakni penggunaan aplikasi MyPertamina. Atau, bisa saja subsidi diberikan langsung kepada penerima melalui catatan kepemilikan kendaraan. Dengan kata lain, subsidi BBM tidak berlaku pada komoditasnya.
Nah, ada juga komentar dari Pengamat Minyak dan Gas (Migas) Komaidi Notonegoro, yang juga Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan bahwa yang bisa beli pertalite hanya pengguna roda dua saja, sedangkan mobil hanya bisa menggunakan BBM non-subsidi.Â
"Subsidi ditujukan untuk masyarakat kurang mampu. Nah kalau sudah mampu beli mobil, masa tidak mampu beli BBM non subsidi," kata Komaidi Notonegoro, seperti dikutip BeritaSatu.com (26/6/2022).
Bahkan, pendapat yang lebih ekstrem datang dari Pengamat Ekonomi Politik Universitas Indonesia Faisal Basri, yang berpendapat pemerintah perlu segera menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM) secara bertahap.Â
Menurut mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini, subsidi BBM seperti candu yang membuat konsumen terlena dan menimbulkan ketergantungan.
"Demi kebaikan perekonomian nasional dan kesejahteraan bangsa, secara bertahap subsidi BBM harus dihilangkan," kata Fasial Basri, seperti dukutip CNNIndonesia.com (28/8/2022).
Nah, kesimpulannya ada pada kita semua. Pendapat dua tokoh pemerhati Migas di atas, tentunya penuh dengan kajian akademik, sehingga patut juga dijadikan rekomendasi dan diperhatikan oleh pemutus kebijakan.Â
Namun, semuanya berpulang pada Pemerintah, mana yang terbaik untuk rakyat. Bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk kebaikan negeri ini di masa yang akan datang.
Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H