Mohon tunggu...
Sukarja
Sukarja Mohon Tunggu... Desainer - Pemulung Kata

Pemulung kata-kata. Pernah bekerja di Kelompok Kompas Gramedia (1 Nov 2000 - 31 Okt 2014)

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Percaya atau Tidak, Pertemuan HRS dan Jokowi Bisa Jadi Solusi Menyatukan Rakyat yang Terbelah

28 Juli 2022   12:44 Diperbarui: 28 Juli 2022   12:48 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi, Jokowi satu panggung dengan HRS di aksi 212/Biro Pers Istana (bbc.com/indonesia)

Assalamu'alaikum Pembaca Kompasiana, yang semoga dalam keadaan sehat-sehat dan tanpa kekurangan apa pun. Aamiin. 

Saya, kembali menulis sebuah opini atau pendapat pribadi menyangkut kabar pembebasan bersyarat Habib Rizieq Shihab (HRS). Saya hanya ingin berusaha berada di tengah-tengah kabar yang beredar, dan menyimpulkan dari sudut pandang saya, yang mungkin cukup terbatas, sehingga harapannya Anda juga giat menggali informasi lainnya agar apa yang Anda dapat akan begitu sempurna.

Kabar bebas bersyaratnya mantan petinggi Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) pada Rabu, 20 Juli 2022 menghiasai sebagian besar media online di Tanah Air. HRS memperoleh pembebasan bersyarat setelah menjalani hukuman sejak Desember 2020.

Tak sedikit selentingan bernada negatif menghiasai pemberitaan. Ada yang bilang, bebasnya HRS karena tekanan Amerika Serikat. Hal ini seperti yang disampaikan Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan.

Dalam sebuah diskusi webinar bertajuk "Pembebasan HRS dan Masa Depan Keadilan Indonesia", yang diselenggarakan Narasi Institut di Jakarta, Jumat (22/7), Syahganda menduga pembebasan HRS bermula dari adanya rilis HAM yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat di awal tahun, yang meliputi kasus HRS selaku pemimpin besar umat Islam sekaligus pemimpin politik untuk umat Islam.

"Jadi, HRS dikeluarkan guna merespons rilis Kementerian Luar Negeri AS atas persoalan HAM dan juga sangkut paut terhadap kasus penembakan laskar FPI di KM 50," jelas Syahganda, seperti dikutip rmol.id (23/7/2022).

Ada pula yang mengatakan pembebasan bersyarat HRS karena hadiah dari partai politik, atau bahkan dari penguasa sendiri. Semuanya alasan pembebasan itu dibantah sendiri oleh HRS. 

Jawaban HRS justru di luar dugaan, bahwa kebebasannya karena adanya jaminan dari keluarganya, terutama sang istri, Assyarifah Fadlun binti Fadil Bin Hasan Ibnul Habib Al Mufti Utsman bin Yahya.

"Pada akhirnya juga harus keluarga juga yang harus memberikan jaminan untuk pembebasan bersyarat. Jadi ini sengaja saya garis bawahi pembebasan bersyarat saya bukan pemberian partai politik bukan pemberian pejabat bukan pemberian kekuasaan, bukan," kata Habib Rizieq, seperti dikutip Viva.co.id.

Buat saya, pembebasan HRS bisa saja karena keputusan pengadilan yang sudah sesuai dengan prosedur hukum, sehingga ketika pengacara HRS meminta pembebasan, pengadilan pun menyetujuinya. 

Artinya, janganlah mengaitkan pembebasan HRS ini karena adanya tekanan negara besar, atau hadiah dari partai politik. Semuanya tentu ada prosedurnya, lebih-lebih kalau pengacaranya lihai dan bersungguh-sungguh, pastilah lebih mudah.

Yang perlu diketahui, HRS ini bebas bersyarat, artinya ada persyaratan tertentu yang wajib dijalani HRS agar dia bisa benar-benar menghirup udara bebas. 

Dengan kata lain, jika baru beberapa hari menghirup kebebasan, HRS kembali "berulah" maka hukum pun akan segera mengembalikannya ke jeruji besi. Ya, namanya juga bebas bersyarat.

Dalam tulisan ini, ada hal yang begitu mengelitik saya. Utamanya, bagaimana pembebasan HRS ini bisa memberikan banyak manfaat bagi semua rakyat. 

Dalam kaitan ini, HRS kalau mau disebut,  bukan sekadar tokoh agama, melainkan juga tokoh politik, dan faktanya HRS ikut mempengaruhi dinamika perpolitikan yang ada di negeri ini. Mau diakui atau tidak.

Fakta politik yang saat ini dirasakan, terbelahnya sikap politik anak bangsa yang melahirkan istilah 'Cebong dan Kampret', atau istilah lainnya yang menggambarkan keterbelahan rakyat, Penulis rasakan bukan karena tokoh-tokoh politik, seperti Prabowo Subianto atau Anies Baswedan. Mengapa?

Alasannya, Prabowo yang kini merapat ke Jokowi atau Anies Baswedan yang seringkali berdampingan bersama Jokowi, nyatanya kedekatan Prabowo dan Anies dengan Jokowi tidak berdampak pada menyatunya para pendukung politik mereka yang dahulu berseberangan. 

Dengan kata lain, keterbelahan rakyat itu masih ada ada. Bahkan, bisa jadi akan berlanjut ke Pilpres 2024 nanti.

Oleh karena itu, penulis sepakat dengan apa yang sampaikan mantan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah.

"Inilah yang harus kita tangkap, bagaimana kita menjadikan momentum terpenting bagi bangsa itu adalah rekonsiliasi," ujar fahri Hamzah, yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia, seperti dilansir Sindonews.com (24/7/2022).

Foto Ilustrasi, Jokowi satu panggung dengan HRS di aksi 212/Biro Pers Istana (bbc.com/indonesia)
Foto Ilustrasi, Jokowi satu panggung dengan HRS di aksi 212/Biro Pers Istana (bbc.com/indonesia)

Mungkin, akan banyak yang menentangnya jika kemudian HRS melakukan pertemuan dengan Presiden Jokowi untuk menyatukan rakyat. 

Alasannya tentu beragam, seperti mengapa harus menerima HRS dengan merujuk apa-apa yang pernah dilakukan HRS selama ini.

Ya, namanya juga rekonsiliasi. 

Rekonsilaiasi itu tujuannya menyatukan semua kekuatan rakyat untuk secara bersama-sama berjuang dan membangun negeri ini dengan segala kekuatan sendiri yang ada. Kalau bangsa kita kuat, kita tidak perlu meminta bantuan bangsa lain untuk membangun negeri ini, bukan? 

Caranya, satukan dulu kekuatan rakyat yang ada, kalau terbelah, ya sulit untuk bisa membangun negeri sebesar Indonesia dengan keterbelahan.

Jika kita ingin melihat Indonesia jauh ke depan, buanglah jauh-jauh rasa takut dan curiga. Tentu saja, semua itu tetap berpedoman pada nilai-nilai dan dasar negara kita, Pancasila dan UUD 1945.

foto ilustrasi: rekonsiliasi/freepik.com
foto ilustrasi: rekonsiliasi/freepik.com

Kalau kita mau menengok jauh ke belakang, kemerdekaan Indonesia itu baru bisa tercapai setelah rakyat yang berbeda-beda itu disatukan dalam satu sumpah, 'Sumpah Pemuda', 28 Oktober 1928. 

Bagaimana pun, Indonesia tidak akan bisa merdeka jika tidak ada persatuan. Itu faktanya, yang tentu saja bisa kembali kita wujudkan saat ini.

Jika HRS dan Jokowi bisa duduk bersama, tentu keterbelahan rakyat bisa berangsur hilang. Percayalah, sesuatu yang baik akan berbuah manis pada akhirnya.

Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun