Hari ini, 22 Juni 2022, adalah hari  yang juga bertepatan dengan hari lahirnya yang ke-495 tahun Kota Jakarta . Usia yang tak lagi bisa disebut belia untuk sebuah kota besar.Â
Meskipun usianya hampir 5 abad, ternyata Jakarta, ibarat anak baru gede (ABG), yang belum bisa dijadikan contoh yang baik bagi kota-kota atau daerah lain yang ada Indonesia ini.Â
Jakarta ibarat anak yang tak bisa diatur. Bagaimana mungkin bisa dijadikan contoh.
Upaya pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur merupakan pilihan yang tepat di antara pilihan lain.Â
Setidaknya, seperti dilansir Kompas.com (11/02/2022), ada enam alasan ibu kota memang harus dipindahkan dari Jakarta ke Pulau Kalimantan.Â
- Beban Jakarta dan Pulau Jawa sudah terlalu berat. Lebih dari 50 persen penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa.
- Pulau Jawa terlalu mendominasi besarnya kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia (Produk Domestik Bruto), sehingga pembangunan yang ada, seperti terkesan hanya ada di Pulau Jawa, Â dan daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa jadi semakin tertingal.
- Ketersediaan air bersih yang sudah tak lagi bisa diharapkan.
- Pulau Jawa adalah pulau yang paling besar mengalami konversi lahan.
- Selain konversi lahan yang paling besar, tingkat urbanisasi di Pulau Jawa (khususnya di Jakarta) sudah begitu mengkhawatirkan.
- Adanya ancaman bahaya banjir, gempa bumi, dan juga tanah yang turun di Jakarta.
Selain enam alasan di atas, ada alasan lain yang paling mendasar, dan alasan ini  yang membuat Jakarta sudah tak layak lagi dijadikan ibu kota negara. Apa itu?
Jakarta sudah tak lagi kuat untuk menopang keberagaman Indonesia.Â
Keberagaman yang menjadi pilar keindonesiaan kita, yakni Bhinneka Tunggal Ika.Â
Inilah hal yang paling mendasar yang selama ini memperkuat rasa persatuan kita sebagai bangsa.
Itulah yang penulis rasakan sebagai orang yang lebih dari 40 tahun tinggal dan menetap di Jakarta.Â
Jakarta sudah tak lagi bisa dianggap kota yang menerima perbedaan, lebih-lebih soal perbedaan pandangan politik.
Konstelasi Pilkada Jakarta tahun 2017 menjadi noktah hitam yang paling menyedihkan di negeri ini.Â
Pilkada yang akhirnya membuat salah satu cagubnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok harus mendekam di jeruji besi akibat ucapannya yang dituding menista agama.
Padahal, kata-kata yang ucapkan Ahok itu memang biasa diumbar oleh para politisi yang kebetulan memiliki lawan politik yang berbeda agama, khususnya nonIslam.Â
Dengan kata-kata tersebut, bukan tidak mungkin bisa membuat para pemilih tidak akan berani untuk memilih pemimpinnya yang bukan beragama Islam.
Karena konstelasi politik di Jakarta ini pula, orang yang sudah meninggal pun ikut mendapat sanksi tidak disholatkan karena dianggap memilih Ahok.
Bahkan, menurut Pakar Politik LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Siti Zahro Zuhro, Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 merupakan Pilkada terburuk dalam sejarah Indonesia.
"Pilkada DKI Jakarta kali ini adalah yang terburuk. Karena tidak mampu mengedepankan akal sehat. Kita ditarik ke isu-isu yang sensitif dan primordial, bukan yang substantif," kata Siti Zuhro, seperti dikutip Tirto.id (10/04/2017).
Politik identitas yang terjadi di Jakarta, hawa panasnya hingga saat ini belum juga bisa dipadamkan.Â
Kalau mau dikatakan, polarisasi yang terjadi justru dimanfaatkan anasir-anasir politik untuk kepentingan politiknya, yang notabene mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Alih-alih sang gubernur terpilih Anies Baswedan, bukannya menjadikan Jakarta bisa lebih baik dari sebelumnya, tapi justru membuat kita makin tidak percaya pada ibukota negara ini.Â
Oleh karena itu, Â pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Nusantara di Kalimantan Timur adalah memang pilihan yang terbaik.Â
Meskipun demikian, masih ada harapan yang kita sandarkan kepada Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Antara lain, pembubaran berbagai organisasi yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 merupakan salah satu cara untuk meredam makin kuatnya polarisasi di Indonesia yang dipicu dari Kota Jakarta.
Sebagai ibu kota negara, Jakarta memang sudah tak layak lagi, bahkan sudah tak pantas lagi.Â
Namun, Jakarta dengan kemegahannya, masih bisa menjadi ibu kota untuk ekonomi dan bisnis.Â
Jakarta masih merupakan magnet yang kuat yang bisa menarik banyak orang untuk berbisnis dan berusaha.
Selamat berulang tahun ke-495 tahun Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H