Itulah yang penulis rasakan sebagai orang yang lebih dari 40 tahun tinggal dan menetap di Jakarta.Â
Jakarta sudah tak lagi bisa dianggap kota yang menerima perbedaan, lebih-lebih soal perbedaan pandangan politik.
Konstelasi Pilkada Jakarta tahun 2017 menjadi noktah hitam yang paling menyedihkan di negeri ini.Â
Pilkada yang akhirnya membuat salah satu cagubnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok harus mendekam di jeruji besi akibat ucapannya yang dituding menista agama.
Padahal, kata-kata yang ucapkan Ahok itu memang biasa diumbar oleh para politisi yang kebetulan memiliki lawan politik yang berbeda agama, khususnya nonIslam.Â
Dengan kata-kata tersebut, bukan tidak mungkin bisa membuat para pemilih tidak akan berani untuk memilih pemimpinnya yang bukan beragama Islam.
Karena konstelasi politik di Jakarta ini pula, orang yang sudah meninggal pun ikut mendapat sanksi tidak disholatkan karena dianggap memilih Ahok.
Bahkan, menurut Pakar Politik LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Siti Zahro Zuhro, Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 merupakan Pilkada terburuk dalam sejarah Indonesia.
"Pilkada DKI Jakarta kali ini adalah yang terburuk. Karena tidak mampu mengedepankan akal sehat. Kita ditarik ke isu-isu yang sensitif dan primordial, bukan yang substantif," kata Siti Zuhro, seperti dikutip Tirto.id (10/04/2017).
Politik identitas yang terjadi di Jakarta, hawa panasnya hingga saat ini belum juga bisa dipadamkan.Â