Mohon tunggu...
Sukarja
Sukarja Mohon Tunggu... Desainer - Pemulung Kata

Pemulung kata-kata. Pernah bekerja di Kelompok Kompas Gramedia (1 Nov 2000 - 31 Okt 2014)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tarif Listrik Naik, Bentuk Keadilan Negara

8 Juni 2022   23:08 Diperbarui: 8 Juni 2022   23:32 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto/ilustrasi: freepik.com

Sejak Desember 2021 lalu, pemberitaan seputar rencana kenaikan tarif listrik sudah menghiasi berbagai media. Bahkan, usai diangkat sebagai Direktur Utama PLN (Persero), Darmawan Prasodjo ikut bersuara terkait rencana Pemerintah yang kembali akan menerapkan tariff adjustment (penyesuaian tarif) untuk pelanggan golongan nonsubsidi di tahun 2022. 

Berita semacam ini, tentu saja bukan berita yang mengembirakan di telinga rakyat, apalagi di tengah situasi ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih setelah dihantam sekitar dua tahunan pandemi Covid-19.

Lebih-lebih jika berita ini ikut dibumbui "penyedap rasa" politik, yang tentu aromanya membuat para petualang politik semakin semangat, seakan-akan berada di waktu yang tepat untuk menjadi pahlawan di mata rakyat.

Namun, rencana kenaikan tarif listrik atau istilah beken-nya penyesuaian tarif (tariff adjustment) itu, bukan juga hal yang dadakan. Tidak seperti tahu bulat yang digoreng dadakan, Bro! 

Bukankah sejak Desember 2021 sudah disuarakan oleh Darmo, panggilan akrab Darmawan Prasodjo.

Semuanya sudah melalui berbagai kajian, bahkan tariff adjustment ini kan sudah dimulai sejak 2014 lalu. Dan, yang lebih penting lagi, kenaikan tarif listrik ini bukan ditujukan untuk masyarakat menengah ke bawah, seperti yang digembor-gemborkan di media sosial.

sumber: cnbcindonesia.com
sumber: cnbcindonesia.com

Tariff Adjustment, Bentuk Kehadiran Negara untuk Energi Berkeadilan

 

Untuk diketahui, penyesuaian tarif listrik (tariff adjustment) sudah dimulai sejak tahun 2014. Dan, hal ini merupakan amanat undang-undang, dimana dinyatakan bahwa subsidi listrik diberikan hanya kepada yang berhak, yakni kelompok masyarakat tidak mampu.

Artinya, sejak tahun 2014, Pemerintah dengan persetujuan DPR RI telah memutuskan untuk menerapkan Tariff Adjustment secara bertahap bagi pelanggan rumah tangga besar, bisnis besar, dan industri besar. Dengan kata lain, pelanggan-pelanggan besar tersebut tidak lagi menerima subsidi. Jadi, bukan untuk golongan masyarakat tidak mampu, yang selama masa pandemi bahkan menerima banyak stimulus dari PLN.

Apa artinya? Dengan anggaran yang ada, subsidi listrik memang hanya diberikan kepada masyarakat tidak mampu. Selain itu, anggaran yang sebelumnya dinikmati masyarakat menengah keatas, kemudian juga bisa dimanfaatkan untuk misalnya kesehatan dan pendidikan.

Namun, terhitung sejak tahun 2017 hingga triwulan II tahun 2022, Pemerintah memutuskan tarif tidak berubah (tetap), bahkan pada triwulan IV tahun 2020 tarif tegangan rendah pernah diturunkan dari Rp1.467/kWh menjadi Rp1.445/kWh. 

Perang Rusia-Ukraina (AFP/Anatoliy Stepanov)/Kompas.com
Perang Rusia-Ukraina (AFP/Anatoliy Stepanov)/Kompas.com

Di Luar Kendali PLN

Ada hal yang penting, dimana tariff adjustment ini diberlakukan lebih dikarenakan faktor-faktor yang ada di luar PLN (Perusahaan Listrik Negara). 

Setidaknya ada 4 indikator di luar kendali PLN, seperti kenaikan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP), kurs mata uang, inflasi, dan juga harga patokan batu bara, yang dianggap jadi penyebab Pemerintah menerapkan kembali Tarrif Adjustment.

Nah, Ketika Covid-19 penyebarannya sudah agak melemah, muncullah ketegangan politik antara Rusia dan Ukraina. Ketegangan tersebut ternyata ikut mempengaruhi kondisi perekonomian kita yang belum sepenuhnya pulih.

Rusia adalah termasuk negara pemasok minyak terbesar di dunia. Invasi Rusia ke Ukraina membuat negara 'Beruang Merah' itu dilarang menjual minyaknya negara-negara lain, yang akibatnya berdampak pada kenaikan harga minyak dunia.

Sebagai negara yang lebih dari setengah kebutuhan minyaknya diperoleh dari impor, Perang Rusia-Ukraina tentu saja membuat Indonesia, yang menurut Sri Mulyani,  mengalami Krisis di atas Krisis.

"Semua juga memahami bahwa krisis akibat pandemi, kemudian disusul oleh krisis geopolitik. Potensi dampaknya dapat menimbulkan krisis energi, krisis pangan, dan krisis keuangan di berbagai belahan penjuru dunia. Krisis di atas krisis. Seluruh dunia sedang mengalami cobaan yang sungguh teramat berat," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. 

Ada rasa yang cukup dilematis bagi Pemerintah. Di satu sisi, naiknya harga minyak membuat kebutuhan subsidi semakin besar, di sisi lain jika harus menaikkan harga BBM, dampaknya bisa menjalar kemana-mana. Tentu bukan hal yang baik jika harga BBM dipaksakan untuk naik. 

Dengan kata lain, Pemerintah hanya merestui kenaikan untuk Pertamax yang memang menjadi BBM untuk kendaraan yang dimiliki masyarakat menengah keatas. Sedangkan Pertalite, posisinya sebagai BBM penugasan Pertamina dari Pemerintah dengan harga subsidi, menggantikan Premium yang mulai ditinggalkan.

Untuk menjaga daya beli masyarakat, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai bendahara negara, mau tak mau meminta tambahan anggaran subsidi dari DPR RI. Selain meminta tambahan subsidi, atas restu Presiden Jokowi, Sri Mulyani pun berencana memangkas anggaran semua Kementerian /Lembaga. Tak tanggung-tanggung, 24,5 triliun. Ya, semuanya dilakukan agar daya beli masyarakat tidak terganggu.

Tariff Adjustment Hanya bagi Golongan Rumah Tangga Berdaya 3.500 VA atau lebih dan Golongan Pemerintah

Rencananya, Pemerintah akan mulai memberlakukan tariff adjustment ini  pada 1 Juli 2022 (triwulan ke-3 tahun 2022). Tariff Adjustment ini, ternyata hanya diperuntukan bagi golongan rumah tangga berdaya 3.500 volt ampere (VA) atau lebih dan golongan Pemerintah. Jumlahnya tidak begitu besar, sekitar 3% dari total pelanggan PLN. 

Sedangkan untuk golongan pelanggan lain, termasuk golongan rumah tangga di bawah 3.500 VA, bisnis dan industri tarifnya tetap. Ya, pastinya karena untuk menjaga daya beli masyarakat.

Bisa disimpulkan, bahwa tariff adjustment atau kalau mau dibilang 'kasarnya' kenaikan tarif listrik, itu hanya diberlakukan bagi golongan menengah keatas dan golongan Pemerintah. 

Kenaikan untuk golongan yang jumlahnya hanya 3% dari jumlah pelanggan PLN itu, tentu saja pengaruhnya terhadap inflasi cukup kecil, sekitar 0,019%.

Hal di atas diamini juga  oleh Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sutyatno, yang menyatakan kenaikan tarif listrik bagi pelanggan golongan 3000 VA ini tidak akan menimbulkan gejolak serius karena jumlahnya yang tidak begitu besar.

Dengan menaikkan tarif listrik untuk golongan atas, tentu saja akan lebih meringankan sedikit beban APBN kita, dan di saat yang bersamaan,  Pemerintah juga tidak menaikkan tarif listrik masyarakat menengah ke bawah.

Bagaimana menurut Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun