Mengapa dirinya yang bukan anggota dan kader Demokrat kok mau saja diusung menjadi ketua umum. Inilah yang menjadi pertanyaan besar masyarakat, kok bisa orang yang bukan kader partai, tiba-tiba muncul di acara KLB dan langsung tanpa prosedur pemilihan yang keras dan panas, diangkat menjadi ketua umum partai.
Lebih-lebih lagi, kader yang mengusung Moeldoko adalah kader  yang sudah dipecat dari kepengurusan Demokrat di bawah AHY, yang secara legalitas formal tak lagi punya punya wewenang.
Bukankah untuk menjadi anggota harus mengantongi KTA (kartu tanda anggota) yang ditandatanani AHY sebagai ketua umum (Ketum) dan Teuku Riefky Harsya sebagai sekretaris jenderal partai?Â
Apakah Moeldoko memenuhi persyaratan itu hingga bisa memiliki legalitas untuk menjadi Ketum? Dengan demikian masihkah relevan bila apa yang dilakukan Moeldoko ini masuk dalam adagium politik itu kotor? Melakukan cara apa pun untuk mencapai posisi ketua umum. Bagaimana pun, posisi ketua umum partai punya kans besar untuk ikut dalam ajang Pilpres atau duduk di posisi strategis di dalam kabinet koalisi.
Apa yang dilakukan Moeldoko, bukan hanya disayangkan oleh masyarakat melainkan juga tak elok di mata para pengamat.
Di mata pengamat Komunikasi Politik Universitas Indonesia (UI), Ade Armando, seperti dilansir Suara.com (06/3/2021)Â Moeldoko disarankan sebaiknya mundur dari Kepala Staf Kepresidenan. Alasan Ade, langkah Moeldoko mengambil alih Demokrat membawa dampak buruk bagi Jokowi, seakan-akan membenarkan tuduhan bahwa mastermind kudeta Partai Demokrat adalah Pak Jokowi.Â
Hal senada juga disuarakan Eko Kuntadhi yang selama ini dianggap 'dekat' dengan Jokowi. Menurut Eko, apabila Moeldoko tidak mundur dari istana, rakyat akan menganggap Moeldoko sembunyi di bawah ketiak presiden.
Lebih tajam lagi komentar Siti Juhro. Pakar Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini menilai KLB Partai Demokrat di Deli Serdang tidak lazim karena tidak mengikuti AD/ART. Selain itu, kata Siti Juhro, seperti yang dilansir Tempo.co (7/3/2021), KLB telah menafikan etika dan norma serta menjungkirbalikkan peraturan partai. Akibatnya, masyarakat akan dibuat semakin bingung dengan atraksi politik KLB Demokrat. Lebih miris lagi, kondisi tersebut, dianggapnya menjadi cerminan para elite yang hanya bersaing dan berpikir untuk 2024.
SBY Turun Gunung untuk Menjewer Moeldoko?
Di mata rakyat kebanyakan, Moeldoko sudah dianggap seperti kacang yang lupa kulitnya. Bagaimana mungkin Moeldoko yang pernah diangkat SBY sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan kemudian diangkat juga sebagai Panglima TNI, kini justru menggusur posisi anak sulungnya AHY dari kursi Ketum Demokrat dalam KLB Demokrat di Sibolangit, Deli Serdang?
"Rasa malu dan rasa bersalah saya, yang dulu beberapa kali memberikan kepercayaan dan jabatan kepadanya. Saya memohon ampun ke hadirat Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesalahan saya itu," ujar SBY dalam konfrensi pers yang digelar di kediaman pribadinya, Puri Cikeas, Bogor, Jumat (5/3/2021).
Apa yang dinyatakan SBY di atas seperti yang dilansir Kompas.com (05/3/2021), tidak bisa dianggap sebelah mata. Bukan pula menjadi hal yang remeh temeh sepertinya.