Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya aksi teror kembali terjadi di Indonesia. Ya, kali ini, aksi terorisme itu terjadi di depan Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan, Ahad (28/3) pagi.Â
Dari aksi biadab tersebut, dikabarkan jatuhnya satu korban jiwa, dan puluhan korban luka-luka.Â
Tak butuh waktu lama, lagi-lagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Wakil Ketua Umum MUI, Buya Anwar Abbas, mengutuk aksi tersebut.
"MUI mengutuk keras peristiwa (ledakan terorisme) pagi ini yang telah membuat ketakutan di tengah-tengah masyarakat dan telah membuat jatuhnya korban jiwa," ujar Buya Anwar Abbas di Jakarta, Ahad (28/03) tadi, seperti dilansir MUI.or.id
Menurut ulama asal Minangkabau ini, aksi terorisme seperti itu tidak bisa diberikan toleransi. Â Lebih lanjut, katanya, tindakan keji itu tidak manusiawi dan melanggar nilai ajaran agama manapun.Â
Oleh karena itu, kata Buya, MUI mendesak pihak keamanan seperti kepolisian untuk segera menindak pelaku sehingga diharapkan segera terbongkar motif dan latar belakang pengeboman tersebut.Â
"MUI meminta pihak aparat  mencari dan menangkap pelaku dan atau otak intelektual dan pihak-pihak yang ada di balik peristiwa ini dan  membongkar motif dari tindakan yang tidak terpuji tersebut," ujarnya.
Dan untuk kesekian kalinya pula, MUI menghimbau kepada masyarakat agar tidak mengaitkan motif peledakan ini dengan ajaran agama maupun suku tertentu. Alasannya, bila itu yang terjadi, dampaknya bisa semakin meluas dan akan memperuncing keharmonisan hubungan antaragama dan suku di Indonesia yang sudah lama terjalin.
Penulis sangat memahami apa yang disampaikan petinggi MUI di atas, bahwa apa yang dilakukan pelaku teror bukanlah ajaran dari agama tertentu, misalnya Islam seperti yang penulis anut. Namun, jika diperhatikan kasus-kasus seperti yang terjadi di Makassar pagi ini (28/3/2021), para pelakunya ternyata dalam melakukan tidakannya tidak terlepas dari pemahaman agama yang didalaminya. Keseharian pelaku tampak sholeh dan taat beragama.
Namun, di sisi lain, pelaku teror terkadang tak pilih-pilih korbannya, karena mereka pun pernah melakukan aksinya di dalam masjid, seperti yang terjadi di Masjid Adz-Zikro yang terletak di Kompleks Kantor Polresta Cirebon, Jawa Barat, Jumat (15/4/2011).
Oleh karena itu, semestinya pihak MUI tidak begitu saja melepaskan tanggung jawab dan menyerahkannya kepada aparat hukum, baik BNPT (Badan Nasional Penaggulangan Terorisme) maupun aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Setidaknya, MUI perlu melakukan investigasi terhadap ajaran pelaku teror, sehingga nantinya MUI bisa memberikan penjelasan secara gamblang kepada masyarakat luas bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku teror merupakan bagian dari aliran sesat, yang perlu dihindari dan dijauhkan.Â
Oleh karena itu, terkait dengan hal di atas, MUI kedepannya bisa lebih tegas lagi terhadap para pendakwa yang dalam ceramahnya selalu mengkaitkan jihad akan dihadiahi 72 bidadari di surga, seperti bunyi hadist Nabi berikut:
 "Orang yang mati syahid mendapatkan tujuh keistimewaan dari Allah; diampuni sejak awal kematiannya, melihat tempatnya di surga, dijauhkan dari adzab kubur, aman dari huru-hara akbar, diletakkan mahkota megah di atas kepalanya yang terbuat dari batu yakut terbaik di dunia, dikawinkan dengan tujuh puluh dua bidadari, serta diberi syafaat sebanyak 70 orang dari kerabatnya,"Â
Hadis riwayat al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad yang bersumber dari sahabat Miqdam bin Ma'di.
Kalau boleh dikatakan, motivasi  terbesar teroris dalam melakukan bom bunuh diri, pembunuhan, dan juga kemungkaran lainnya adalah untuk mendapatkan 72  bidadari di surga.Â
Oleh kerena itu, mereka 'berjuang' Â dan mengatasnamakan agama, serta menganggap dirinya sebagai mujahid, seperti para sahabat yang ikut berperang di masa Nabi dahulu.
Kekeliruan menyebut teroris sebagai mujahid sangat perlu untuk terus didengungkan oleh MUI.Â
Bagaimanapun, jihad yang mereka lakukan saat ini, justru sangat bertolakbelakang dengan jihad yang dilakukan di masa Nabi.
Dengan kata lain, karena domainnya agama, MUI punya tugas bersama BNPT dan juga Polri, dan tentu saja kita semua punya kewajiban yang sama dalam menjaga keamanan dan ketertiban negara ini.
Sampai kapan pun aksi teror adalah musuh kita bersama, yang harus dimusnahkan sampai ke akar-akarnya.Â
Dan, aksi tersebut jangan justru membuat kita semakin takut. Jika kita takut, maka para pelaku teror itu akan merasa dirinya menang, dan itu membuatnya semakin 'gila' lagi berbuat keonaran.
Salam damai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H