Oleh karena itu, semestinya pihak MUI tidak begitu saja melepaskan tanggung jawab dan menyerahkannya kepada aparat hukum, baik BNPT (Badan Nasional Penaggulangan Terorisme) maupun aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Setidaknya, MUI perlu melakukan investigasi terhadap ajaran pelaku teror, sehingga nantinya MUI bisa memberikan penjelasan secara gamblang kepada masyarakat luas bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku teror merupakan bagian dari aliran sesat, yang perlu dihindari dan dijauhkan.Â
Oleh karena itu, terkait dengan hal di atas, MUI kedepannya bisa lebih tegas lagi terhadap para pendakwa yang dalam ceramahnya selalu mengkaitkan jihad akan dihadiahi 72 bidadari di surga, seperti bunyi hadist Nabi berikut:
 "Orang yang mati syahid mendapatkan tujuh keistimewaan dari Allah; diampuni sejak awal kematiannya, melihat tempatnya di surga, dijauhkan dari adzab kubur, aman dari huru-hara akbar, diletakkan mahkota megah di atas kepalanya yang terbuat dari batu yakut terbaik di dunia, dikawinkan dengan tujuh puluh dua bidadari, serta diberi syafaat sebanyak 70 orang dari kerabatnya,"Â
Hadis riwayat al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad yang bersumber dari sahabat Miqdam bin Ma'di.
Kalau boleh dikatakan, motivasi  terbesar teroris dalam melakukan bom bunuh diri, pembunuhan, dan juga kemungkaran lainnya adalah untuk mendapatkan 72  bidadari di surga.Â
Oleh kerena itu, mereka 'berjuang' Â dan mengatasnamakan agama, serta menganggap dirinya sebagai mujahid, seperti para sahabat yang ikut berperang di masa Nabi dahulu.
Kekeliruan menyebut teroris sebagai mujahid sangat perlu untuk terus didengungkan oleh MUI.Â
Bagaimanapun, jihad yang mereka lakukan saat ini, justru sangat bertolakbelakang dengan jihad yang dilakukan di masa Nabi.
Dengan kata lain, karena domainnya agama, MUI punya tugas bersama BNPT dan juga Polri, dan tentu saja kita semua punya kewajiban yang sama dalam menjaga keamanan dan ketertiban negara ini.
Sampai kapan pun aksi teror adalah musuh kita bersama, yang harus dimusnahkan sampai ke akar-akarnya.Â