Siapa bilang mereka mau pulang ke Tanah Air? Itulah pertanyaan yang saya tujukan kepada Pemerintah yang sempat dibuat gamang atau ragu dengan dua pilihan, menerima atau menolak kepulangan sekitar 689 kombatan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).
Saya lebih suka menyebut ke-689 orang tersebut sebagai ISIS eks WNI (warga negara Indonesia), sebagaimana Presiden Jokowi menyebutnya. Apalagi kalau mengingat sumpah setia mereka mendukung ISIS, bahkan dibarengi dengan ritual pembakaran paspor Indonesia yang mereka miliki, hal itu jelas membuktikan kesungguhan mereka menggugurkan status dirinya sebagai WNI.
Coba Anda bayangkan, seandainya ISIS berhasil menyatukan Irak dan Syiria menjadi state yang mereka inginkan, tentu saja kita tak akan mendengar wacana kepulangan eks WNI itu ke Indonesia.
Apabila mereka pulang pun karena posisi sudah mulai terdesak, adakah jaminan eks WNI itu akan bisa berbaur secara damai dengan masyarakat kita. Bukankah justru akan menjadi ancaman bagi lebih dari 260 juta penduduk Indonesia?
Bisa jadi, kepulangan ISIS eks WNI itu sebagai kamuflase, dimana di kemudian hari mereka semua menjadikan Indonesia sebagai medan perjuangan baru untuk menegakkan negara yang diinginkan.Â
Bukankah hal itu sudah terendus sejak lama, seperti yang dikatakan Ryamizard Ryacudu ketika masih menjabat Menteri Pertahanan (Menhan), dimana dia mengungkapkan ada upaya kelompok radikal ISIS memindahkan basisnya di Asia Tenggara dari Marawi di Filipina ke Indonesia.
Bayangkan saja, masa kita begitu mudahnya percaya bahwa eks WNI itu akan kembali ke Indonesia dan memberikan kedamaian?Â
Bukankah kepergian mereka menjadi kombatan ISIS sebagai bentuk jihad, sehingga membuat mereka sudah tidak takut lagi dengan namanya kematian.
Dengan kata lain, saya agak pesimis jika ideologi ISIS yang sudah tertanam di benak mereka, dengan begitu mudahnya terlepas, dan rasa cintanya kepada Tanah Air kembali tumbuh dan berkembang. Janganlah mudah percaya.
Dan, bukankah ISIS eks WNI sudah semestinya menjadi tanggung jawab lembaga internasional, seperti UNHCR (Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan pengungsi).Â