Berharap pujian di akhir masa jabatan, justru sumpah serapah dan penolakan yang didapat. Begitulah kiranya nasib yang diterima anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Periode 2014-2019.
Di akhir masa jabatanya, yang tak kurang dari sebulan lagi, anggota Dewan yang Terhormat ini dianggap begitu menggebu-gebu berusaha menyelesaikan tugas legislasinya, mengesahkan sejumlah Undang-Undang.
Untuk sebagian orang, upaya DPR tersebut tentu saja dinilai janggal dan juga tidak wajar. Bagaimana mungkin, sebuah hal penting bagi rakyat, dibuat dan disusun secara terburu-buru, apalagi di akhir masa jabatan.
Bagaimana mungkin pula, sebuah undang-undang yang digunakan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak, dibuat tanpa mengikutsertakan masyarakat. Setidaknya begitulah anggapan banyak orang.
Mungkinkah apa yang dilakukan DPR semata-mata untuk menunjukkan bahwa kinerja mereka di Parlemen layak untuk diacungi jempol, seakan memutarbalikkan fakta bahwa sesungguhnya, alau menggunakan catatan dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), fungsi legislasi DPR sangat lemah.
Bahkan, penulis sendiri, kalau boleh menyebutnya teramat buruk, karena tak sedikit anggota, yang katanya terhormat itu, harus terjaring tindak pidana korupsi?
Mereka (para anggota DPR itu) juga lupa, besarnya apresiasi yang ditunjukkan rakyat di dalam pemilihan legislatif kemarin, tak lain merupakan upaya untuk sesegera mungkin menggantikan posisi mereka yang ada saat ini dengan anggota DPR baru (Periode 2019-2024).
Artinya, rakyat ingin segera melihat wakil-wakilnya yang dipilih secara langsung pada 17 April 2019 berkantor di Senayan, yang tentu saja, berharap kinerjanya harus lebih baik dari anggota DPR periode sebelumnya.
Lantas, apa yang dilakukan anggota DPR (demisioner) ini, tak lain hanya ingin memenuhi target yang sudah direncanakan. Namun, mengapa  juga harus di akhir masa jabatan, apalagi jika undang-undang itu penting bagi kehidupan rakyat.
Bukankah sangat berisiko jika DPR terlalu memaksakan pengesahan undang-undang tersebut, jika kemudian digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Kalau itu yang terjadi, sama artiya  membebani tugas anggota DPR berikutnya.
Ya, kita semua maklum, meskipun MK hanya mengubah atau menghapus beberapa pasal yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan rakyat atau bertentangan dengan peraturan di atasnya. Namun, tentu saja, semua itu bisa dihindari jika DPR menyelesaikannya jauh-jauh hari, yang pastinya juga melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya.
Bahkan, RKUHP ini telah disusun pemerintah cukup lama, hampir 50 tahun, yang tujuannya  untuk mengganti dan memperbaiki KUHP yang berlaku di Indonesia hingga saat ini.Â
Selama ini, Indonesia menggunakan KUHP yang dibuat Belanda, namanya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie, yang disahkan tahun 1815 dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1918. Setelah kemerdekaan, KUHP lama itu tetap berlaku disertai penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan.
RKUHP ini ibaratnya jalan panjang nasionalisme hukum kita, sehingga kita tak semestinya lagi menggunakan KUHP buatan Belanda, yang di Belanda sendiri KUHP dibuatnya sudah tidak lagi digunakan karena dianggap usang. Boleh jadi, jika kita tak merevisi KUHP, itu artinya seolah-olah kita tak mau melepaskan diri dari kenangan hidup di masa penjajahan Negeri Kincir Angin tersebut.
Namun, begitulah rakyat jika lebih mengedepankan kecurigaan. Â Apa yang baik dilakukan DPR, selalu saja dinilai sinis, dan cenderung mengada-ada. Itulah faktanya, apalagi yang lebih membuat rakyat curiga adalah revisi yang dilakukan terhadap UU KPK.
Rakyat mencurigai revisi terhadap UU KPK, kecenderungannya untuk melemahkan KPK. Anggapan ini dinilai wajar, mengingat banyaknya anggota DPR yang terjerat kasus pidana korupsi, sehingga revisi yang dilakukan sekadar untuk menyelamatkan kepentingan anggota DPR.Â
Dari aksi penolakan rakyat, ada yang perlu dicermati para anggota DPR yang baru terpilih. Pertama, anggota DPR terpilih harus memanfaatkan semaksimal mungkin waktu yang diberikan selama lima tahun. Jangan menyia-nyiakan waktu sedikit pun, sehingga dampaknya harus terburu-buru menyelesaikan tugas legislasi itu di akhir masa jabatan.Â
Kedua, jangan putus komunikasi dengan rakyat. Artinya, apapun yang dibuat DPR dan Pemerintah, sudah semestinya mengikutsertakan rakyat, sehingga rakyat pun tidak melulu mencurigai apa pun yang dilakukan wakilnya di DPR.
Ketiga, selalulah mengingat bahwa sebutan Anggota yang Terhormat yang disematkan kepada anggota DPR, sebaiknya dimaknai sebagai wujud kepercayaan rakyat yang diwakilinya. Dan, seyogyanya, kepentingan rakyat di atas segala-galanya, termasuk di atas kepentingan Pemerintah dan juga partai pengusung.
Gonjang-ganjing yang terjadi di akhir masa jabatan para anggota DPR RI Periode 2014-2019 ini, sudah semestinya bisa menjadi pelajaran berharga bagi anggota DPR RI Periode 2019-2024. Jangan lagi terulang hal-hal yang membuat hilangnya kepercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif yang disebut Wakil Rakyat itu.
Salam dan terima kasih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H