Kunjungan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto ke Kediaman Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri, di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat (24/7/2019) tak bisa dipungkiri telah menyita perhatian kita semua.
Pertemuan kedua politisi senior itu merupakan pertemuan pertama usai Pilpres 2019 lalu. Penulis meyakini, tak sedikit di antara kita menilai pertemuan Megawati dan Prabowo sebagai kelanjutan dari pertemuan antara Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) dengan Prabowo Subianto di Stasiun MRT Lebak Bulus, 13 Juli 2019 lalu.Â
Tak sedikit pula, yang menilai pertemuan itu sebagai tanda-tanda akan masuknya Partai Gerindra ke dalam Pemerintahan Jokowi.Â
Namun, yang pasti, antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto adalah dua sahabat lama. Soal kursi kabinet, Mbak Mega selalu mengatakan bahwa soal itu menjadi hak prerogatif Presiden Jokowi.
Sebuah Pertemuan untuk Keutuhan NKRI
Apa yang dilakukan Prabowo dengan menemui Jokowi dan Megawati merupakan sebuah tindakan yang berani. Penulis sepakat dengan apa yang dikatakan Direktur Riset Populi Center Usep S Ahyar bahwa pertemuan tersebut tidak menyenangkan banyak pihak, terutama dari kelompok-kelompok yang tidak terakomodasi kepentingan politiknya.
Namun, kesediaan Prabowo untuk bertemu Jokowi dan juga datang ke kediaman Megawati adalah langkah terbaik. Bagaimanapun menurut Usep, Â jika elite politik dalam Pilpres 2019 tidak mengambil langkah tersebut, maka sisa perselisihan Pilpres tidak akan terselesaikan. Dan, akibatnya, sekat di antara kedua pendukung akan terus berlarut-larut.
Antara Megawati dan Prabowo sama-sama memiliki komitmen dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meskipun keduanya terkadang memiliki pandangan politik yang berbeda, misalnya di Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.
Kedua tokoh itu memberikan pembelajaran politik yang sangat berharga bagi kita semua. Bagi keduanya, perbedaan pandangan dan sikap politik merupakan hal yang biasa, sehingga di ujungnya kedua politisi itu selalu ingin melanjutkan dan mempererat tali kekeluargaan yang rukun dan baik, yang semua itu diharapkan dapat membantu mengatasi persoalan bangsa.
Jika penulis menengok ke belakang, pertemuan Megawati dan Prabowo memang tak bisa dilepaskan dari nostalgia politik di masa lalu. Keduanya pernah menjalin koalisi di Pilpres 2009 dan juga Pilkada DKI Jakarta 2012.
Untuk diketahui, Prabowo dan Megawati sudah berteman sejak lama. Bahkan kepulangan Prabowo ke Tanah Air setelah berdiam lama di Yordania tak bisa dilepaskan, salah satunya atas jasa Almarhum Taufik Kiemas, suami Mbak Mega.
Pada Pilpres 2009 silam, kedua tokoh itu berpasangan sebagai capres dan cawapres dengan slogan "MegaPro". Namun, keduanya kalah dalam kontestasi tersebut.Â
Koalisi keduanya pun berlanjut di Pilkada DKI Jakarta 2012, dan sukses mengantarkan Jokowi-Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk periode 2012-2017.
Perbedaan pandangan politik keduanya di Pilpres 2014, membuat jalinan koalisi itu pecah. Gerindra bersama beberapa partai pendukung  mengusung Prabowo dan Hatta Rajasa, sedangkan PDIP dan rekan koalisinya mengusung Jokowi-JK. Begitu pula kompetisi itu berlanjut di Pilpres 2019.
Oleh karena itu, pertemuan Megawati dan Prabowo di Teuku Umar kemarin, disebut-sebut sebagai salah satu bagian temu kangen sekaligus silaturahmi di antara keduanya.Â
Temu kangen yang penuh nuansa kekeluargaan itu, rasanya tak lengkap tanpa disuguhi nasi goreng racikan Mbak Mega yang begitu dikangeni Prabowo.
Apakah nostalgia politik itu juga menatap kedepan?
Bukan hanya penulis, banyak juga orang yang menilai pertemuan Mega dan Prabowo, sepertinya akan mengarah pada rekonsiliasi kedua partai politik.Â
Setidaknya, perbedaan pandangan politik yang membuat kedua partai pecah kongsi di Pilpres 2014, bisa kembali disatukan dalam kepentingan yang sama di Pilpres 2024.
Mungkin Anda menilai penulis terlalu dini jika mengaitkannya dengan Pilpres 2024, sedangkan Presiden Terpilih saja belum dilantik.Â
Namun, jika melihat kontestasi di Pilpres 2024, bukan tidak mungkin Prabowo dan Megawati bisa bekerja sama untuk saling menguntungkan.Â
Seperti diketahui, di Pilpres 2024, PDIP tak lagi bisa mengusung Jokowi, sehingga diperlukan sosok baru dalam tubuh PDIP yang bisa  memperpanjang usia kekuasaannya di Pemerintahan.
Siapa pun itu kader PDIP, setidaknya menurut hemat penulis bisa disandingkan dengan Prabowo di Pilpres 2024, dimana Prabowo sudah memiliki modal elektabilitas yang cukup, ditambah lagi dukungan dari akar rumput partai berlambang banteng moncong putih itu. Keduanya tentu saja punya kans yang kuat untuk menang.
Apapun alasannya dan Apapun rencananya, pertemuan antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto, seakan mengajarkan bahwa berpolitik jangan dibuat susah, rileks saja. Seperti kata Megawati kepada Prabowo bahwa perbedaan pendapat adalah sebuah hal yang biasa, sehingga perbedaan itu tidak perlu diteruskan.
"Mari kira rukun kembali, persahabatan kita mendapat ujung yaitu untuk kepentingan bangsa dan negara," kata Megawati.
Dan, akhirnya nasi goreng spesial yang diracik Megawati sebagai menu makan siang dalam pertemuan itu, menegaskan kembali adagium politik Lord Palmerston: tidak ada musuh dan teman abadi dalam politik. Yang ada adalah kepentingan abadi. Bagaimana dengan kita sendiri?
Salam dan terima kasih!
sumber:
- Kompas.com (25/7/2019): "Megawati-Prabowo, Tak Ada Teman dan Musuh Abadi dalam Politik"
- Republika.co.id : "Temui Mega, Pengamat: Prabowo Berani, Meski Tuai Risiko"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H