Mohon tunggu...
Sukarja
Sukarja Mohon Tunggu... Desainer - Pemulung Kata

Pemulung kata-kata. Pernah bekerja di Kelompok Kompas Gramedia (1 Nov 2000 - 31 Okt 2014)

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pertemuan Jokowi-Prabowo dalam Bingkai Rekonsiliasi Total PDI Perjuangan dan Gerindra

14 Juli 2019   17:31 Diperbarui: 14 Juli 2019   17:44 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto makan siang bersama di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (13/7/2019). Kedua kontestan dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 lalu ini bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus dan selanjutnya naik MRT dan diakhiri dengan makan siang bersama.(KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Pertemuan antara Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto  pada Sabtu 13 Juli  2019, bisa dianggap sebagai pertemuan bersejarah di antara keduanya usai gelaran Pilpres 2019.

Pertemuan tersebut menjadi syarat makna, mengingat rivalitas keduanya yang dimulai sejak Pilpres 2014 lalu, yang berujung pada polarisasi di antara para pendukungnya semakin lama semakin melebar, bahkan dikhawatirkan bisa menjadi contoh yang tidak baik bagi demokrasi di Tanah Air.

Menjadi syarat makna, karena pertemuan di Stasiun MRT Lebak Bulus itu, bisa dikatakan sebagai akhir dari segala 'pertikaian" politik antara Jokowi dan Prabowo. Apa sebab? Karena inilah periode terakhir kepemimpinan Jokowi. Dengan kata lain, jika Prabowo masih berniat mengikuti Pilpres 2024, Prabowo tidak lagi berhadapan dengan Jokowi yang menjadi rivalnya selama dua kali Pilpres.

seperti kita ketahui, antara Jokowi dan Prabowo adalah dua insan manusia yang saling bersahabat. Persaingan  di ranah politiklah, yang membuat keduanya seakan menjaga jarak, dan itu dimaknai berbeda oleh para pendukungnya. Hal inilah yang membuat polarisasi di akar rumput sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari lagi.

Namun, ketika ajang persaingan keduanya selesai, tak lagi ada alasan keduanya untuk tidak saling bertemu. Siapa yang tak menghendaki pertemuan tersebut, itulah sosok 'setan gundul' yang tak menginginkan bangsa ini bersatu.

Dalam kancah politik di Tanah Air, antara Jokowi dan Prabowo memang tak memiliki perselisihan apa-apa. Keduanya hanya menjalani 'takdir politiknya' masing-masing. Jika kita menoleh kebelakang, semua orang tentunya memahami, tampilnya Jokowi dan Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2012 adalah atas jasa Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Bahkan, kerja sama itu sudah dimulai ketika Prabowo mendampingi Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri di kontestasi Pilpres 2009.

Namun, semuanya berubah, ketika dinamika politik di internal PDI Perjuangan, mencalonkan Gubernur DKi Jakarta saat itu Jokowi untuk berlaga di Pilpres 2014. Kisah inilah yang dianggap Partai Gerindra sebagai sebuah penghianatan janji antara PDI Perjuangan dan Partai Gerindra di Istana Batu Tulis, Bogor. Pasalnya, menurut Gerindra, PDI P semestinya membantu pencalonan Prabowo di Pilpres 2014, bukan justru saling berhadap-hadapan. Untuk soal itu, pihak PDI Perjuangan pun berdalih, perjanjian itu tak lagi berlalu, karena kekalahan Mega-Prabowo di Pilpres 2009 lalu.

Seiring waktu, hubungan antara Megawati dan Prabowo kembali pulih seperti sedia kala. Namun, dalam percaturan politik, keduanya masih enggan untuk bicara bersama dalam ruang rekonsiliasi yang lebih luas.

Oleh karena itu, kembalinya Jokowi menjadi lawan Prabowo di Pilpres 2019, sebenarnya tidak bisa dimaknai bahwa hubungan antara Megawati dan Prabowo masih menyisakan ganjalan. Kedua pimpinan partai tersebut hanya menjalani takdir politiknya untuk kedewasaan demokrasi di Tanah Air, dimana perbedaan dalam politik tidak seharusnya dimaknai sebagai permusuhan.

Momen Prabowo dan Jokowi berpelukan. (Foto: Instagram/@prabowo)
Momen Prabowo dan Jokowi berpelukan. (Foto: Instagram/@prabowo)

Pertemuan antara Jokowi dan Prabowo memang sudah lama diinginkan Jokowi. Bagi Jokowi, pertemuan tersebut bukan sekadar membuktikan persaingan politik di antara keduanya sudah selesai. Pertemuan tersebut juga sangat penting dilakukan, setidaknya Jokowi ingin menunjukkan kepada seluruh rakyat bahwa keduanya tidak saling bermusuhan. Keduanya tetap bersahabat, seperti ketika Prabowo meminta Megawati untuk mencalonkan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta di Pilkada 2012 silam.

Bagi Jokowi, pertemuan 13 Juli itu bisa menjadi sarana rekonsiliasi total antara PDI Perjuangan dengan Gerindra. Seperti sama-sama kita ketahui, di Pilpres 2024 nanti, Jokowi sudah tak lagi bisa mencalonkan diri atau dicalonkan kembali sebagai Presiden. Dengan demikian, di Pilpres 2024, para calon yang berlaga adalah pasangan yang tidak pernah saling berhadapan.

Di Pilpres 2024 itulah, rekonsiliasi total, tepatnya antara PDI Perjuangan dan Gerindra bisa diwujudkan, setidaknya untuk membayar kekecewaan Gerindra dari PDI Perjuangan. Inilah momen yang penting bagi PDI Perjuangan untuk memulai regenerasi di tubuh partai, dimana Megawati Sukarnoputri bisa menyandingkan  salah seorang putranya  mendampingi Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Dengan demikian, sesuatu yang dianggap hutang oleh Partai Gerindra sudah bisa dilunasi. Mungkinkah rekonsiliasi total itu bisa terwujud? Kita lihat saja nanti!

Salam dan terima kasih!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun