Mohon tunggu...
Sukarja
Sukarja Mohon Tunggu... Desainer - Pemulung Kata

Pemulung kata-kata. Pernah bekerja di Kelompok Kompas Gramedia (1 Nov 2000 - 31 Okt 2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memetik Pelajaran Berharga dari Sidang MK

24 Juni 2019   09:03 Diperbarui: 24 Juni 2019   09:21 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahli tim kuasa hukum pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Maruf Amin, Edward Omar Sharif Hiariej saat sidang lanjutan sengketa pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6/2019). Sidang tersebut beragendakan mendengar keterangan saksi dan ahli dari pihak terkait yakni paslon nomor urut 01 Joko Widodo - Maruf Amin. (KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Kita semua sudah menyaksikan secara terbuka sidang gugatan sengketa pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi (MK) yang berlangsung dari tanggal 14-21 Juni 2019, dan hasilnya akan diumumkan selambat-lambatnya 28 Juni 2019.

Gugatan yang diajukan Badan Pemenangan Nasional (BPN)  Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno (Prabowo-Sandi) ini, jangan terburu-buru dianggap sebagai bentuk perlawanan. Gugatan ini juga jangan lantas dianggap sebagai bentuk pemaksaan kehendak dari kubu 02.

Gugatan ke MK merupakan jalan akhir yang direstui Undang-Undang, sehingga hasilnya pun bukan justru merusak demokrasi, melainkan akan lebih menyempurnakan demokrasi itu sendiri.

Dalam hal ini, pasangan nomor urut 01 Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin (Jokowi-Ma'ruf) yang pada 21 Mei 2019 lalu ditetapkan sebagai pemenang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan meraih 85.607.362 (55,50%) suara sah, bisa saja merasa kecewa dengan adanya gugatan kubu Prabowo-Sandi tersebut.

Bagaimana pun, ketika KPU menetapkan Jokowi-Ma'ruf sebagai pemenang, sebagai pihak pemenang akan mempunyai waktu yang lebih longgar untuk menentukan komposisi kabinet dan persiapan-persiapan lainnya. Dengan adanya gugatan ini, tentu saja semuanya itu harus ditunda, dan menunggu hasil yang akan dikeluarkan MK. Bisa jadi, hasilnya ternyata tidak seperti yang ditetapkan KPU.

Namun, bagi Jokowi-Ma'ruf, gugatan BPN Prabowo-Sandi ini sebaiknya dipandang sebagai sebuah pembelajaran bahwa demokrasi di Indonesia belum bisa dianggap sempurna, sehingga masih harus terus diperbaiki. Apalagi, kedudukan Jokowi sebagai Presiden Petahana, tentu saja mempunyai resistensi tinggi bagi pendukung kubu 02. Dengan kata lain,  gugatan BPN Prabowo-Sandi ke MK ini bisa dipandang sebagai upaya mengurangi resistensi tersebut.

Dengan jumlah pemilih Prabowo-Sandi sekira 68.650.239 (45,50%) suara sah, tentu bukan jumlah yang kecil, apabila aspirasi nya diabaikan, bukan tidak mungkin ketidakpuasan ini akan berdampak buruk bagi pemerintahan yang dijalankan Jokowi-Maruf. 

Oleh karena itu,  tuduhan adanya kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) memang harus dibuktikan oleh pihak Prabowo-Sandi di sidang MK sebagai langkah terakhir untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan presiden ini.

Ahli tim kuasa hukum pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Maruf Amin, Edward Omar Sharif Hiariej saat sidang lanjutan sengketa pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6/2019). Sidang tersebut beragendakan mendengar keterangan saksi dan ahli dari pihak terkait yakni paslon nomor urut 01 Joko Widodo - Maruf Amin. (KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)
Ahli tim kuasa hukum pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Maruf Amin, Edward Omar Sharif Hiariej saat sidang lanjutan sengketa pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6/2019). Sidang tersebut beragendakan mendengar keterangan saksi dan ahli dari pihak terkait yakni paslon nomor urut 01 Joko Widodo - Maruf Amin. (KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)
Apabila tuduhan kecurangan yang bersifat TSM itu terbukti, maka pasangan Jokowi-Ma'ruf harus dengan jiwa legowo menerima keputusan akhir MK. Sebaliknya, apabila gugatan sengketa yang diajukan BPN Prabowo-Sandi itu tidak terbukti, pasangan Prabowo-Sandi dan para pendukungnya pun harus berjiwa ksatria untuk menerima keputusan MK tersebut.

Jika kita mau berlapang dada dan menunjukkan sikap kenegarawanan kita dalam berdemokrasi, sesungguhnya dalam Pilpres 2019 ini tak ada satu pihak pun yang dikalahkan. Ketika rakyat sudah menentukan pilihannya, pasangan yang meraih suara terbanyak itu pun  harus mengayomi seluruh rakyat, termasuk rakyat yang tidak memilihnya.

Rakyatlah yang menjadi pemenang dari kontestasi pemilihan presiden ini. Kita semua berharap, Presiden dan Wakil Presiden terpilih bisa mengayomi seluruh rakyat Indonesia, sehingga polarisasi atau perpecahan yang tercipta selama ini bisa hilang, dan kita semua bisa kembali bersatu menatap masa depan bangsa ini.

Salam dan Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun