Akankah nasib Front Pembela Islam (FPI) akan sama dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang hak hidupnya sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) harus dihilangkan karena bertentangan dengan ideologi negara?Â
Entahlah, bisa jadi senasib. Namun, semua itu ada di tangan Pemerintah, karena domain izin berdirinya ormas ada di tangan Pemerintah. Namun, jika mayoritas masyarakat tidak menghendaki, tentu saja Pemerintah tak bisa berbuat apa-apa.
Merebaknya aksi penolakan masyarakat melalui Petisi Online Change.org terhadap perpanjangan izin berdirinya FPI, yang menurut data di Kementerian Dalam Negeri akan berakhir  20 Juni 2019 bisa jadi dipicu oleh  aksi-aksi FPI belakangan ini, khususnya apa yang dilakukan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab (HRS).Â
Ya, masyarakat tentu saja mencatat tindakan HRS dalam beberapa tahun belakangan ini.Â
Apa yang dilakukan HRS, yang dimulai dari saat Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok menjabat Gubernur DKI Jakarta, upaya penjeblosan BTP ke penjara, hingga aksi yang menyertai Pilpres 2019 ini. HRS dinilai telah membawa FPI ke ranah politik praktis.
Menurut saya, ketika FPI dibawa-bawa ke ranah politik praktis, otomatis hal ini mempertentangkan pilihan politik masyarakat.Â
Sebagai contoh, ketika HRS melalui FPI mendukung pasangan Prabowo-Sandi, ini sama artinya mengatakan bahwa pendukung Jokowi-Ma'ruf adalah pendukung penista agama.Â
Padahal, bisa saja masyarakat beralasan mendukung Jokowi-Ma'ruf, karena ada sosok KH Ma'ruf Amin yang dikenal sebagai ulama besar di Indonesia. Sedangkan, kita semua mengetahui bagaimana keislaman Prabowo.Â
Dukungan politik FPI itulah yang membuat masyarakat kita terpecah belah.
Dalam logika saya, keberadaan FPI dan HRS, termasuk para ulama 212 yang berada di kubu Prabowo-Sandi, tentu saja nilainya positif, apabila keberadaan mereka untuk menjaga etika politik secara islami.Â