Sebenarnya, terbuat dari benda apakah hati para politisi kita ini? Setidaknya, apa yang saya pertanyakan ini, bisa saja menjadi pertanyaan banyak orang diluar sana, yang kesehariannya masih saja dibebani bagaimana menyambung hidup untuk hari esok. Bagaimana nasib anak-anaknya tidak lagi mengikuti nasib dirinya.
Bagaimana tidak? Hajatan demokrasi lima tahunan, nyata-nyatanya, dijadikan hajatan meraih kekuasaan semata. Semuanya seolah mengkhianati apa yang dilakukan di awal, dimana mereka semua bertekad bahwa mereka akan siap menang dan juga siap untuk kalah.
Namun, kenyataannya sungguh ironis. Belum juga, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelesaikan tugasnya, Â salah satu pesertanya sudah menyatakan dirinya sebagai pemenang, hanya dengan berbekal quick count-nya sendiri. Bahkan, deklarasi kemenangan dan sujud syukur pun harus dilakukan berulang kali. Apa yang dilakukannya itu seperti menafikan keberadaan KPU.
Inikah bentuk kekecewaan kepada lembaga-lembaga survei yang justru  menempatkan pasangan Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin sebagai peraih suara terbanyak? Atau karena hati ini sudah begitu kotor sehingga tak bisa lagi melihat segalanya dengan pandangan yang jernih?
Kalau kita mau jujur, lembaga-lembaga survei yang menggunakan metodologinya dengan baik dan benar, maka tentu saja hasilnya tidak akan melenceng dari kenyataan. Dan, hal ini sedikitnya sudah terbukti bahwa hasilnya ternyata tidak jauh berbeda dengan hasil real count yang dilakukan KPU, meskipun data yang masuk baru sementara.
Jika hati sudah kotor, pikiran pun kotor, dan apa yang dilakukan juga kotor. Bagaimana tidak kotor? Sebelum masa pencoblosan dilakukan, Amien Rais, tokoh nasional yang dahulu dikenal dengan politik adiluhung-nya ini justru mengeluarkan pernyataan provokatif yang berlabel 'People Power' karena tidak begitu mempercayai integritas KPU.Â
Padahal, lembaga independen penyelenggara pemilu ini dilahirkan ketika dirinya menjabat Ketua MPR RI, sehingga KPU tak lagi berda di bawah Kementerian Dalam Negeri seperti di masa Orde Baru.
Mungkin saja saat ini, sudah semakin tebal debu menutupi hatinya, karena jauh-jauh hari, berita bohong alias hoax mengenai 7 kontainer surat suara tercoblos sudah mulai disebarluaskan. Sungguh sebuah kebohongan yang bodoh, karena ketika itu KPU pun belum secara resmi mencetak surat suara untuk Pilpres 2019.
Upaya mendelegitimasi KPU memang begitu menyakitkan. Tindakan ini tak ubahnya seperti merusak demokrasi itu sendiri. Bahkan, semakin menyakitkan lagi, ketika euphoria itu tampaknya makin membuat kecewa ratusan keluarga petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia. Â
Coba Anda Bayangkan, lebih dari seratus orang petugas KPPS itu meninggal dunia karena tak kenal lelah ikut memperjuangkan jalannya demokrasi di Tanah Air kita ini.Â