Kita pun percaya, HTI tentu tidak akan begitu saja menerima keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi HTI atas keputusan pembubaran ormas tersebut oleh pemerintah. Dan, peluang untuk kembali eksis bisa saja masih terbuka lebar jika Pilpres 2019 ini dimenangkan pasangan Prabowo-Sandi.
Bisa saja Prabowo mengatakan dirinya seorang nasionalis dan menolak paham khilafah. Namun, bagaimana jika secara politik, mayoritas anggota parlemen yang terpilih merupakan kumpulan orang-orang yang menghendaki Khilafah itu berdiri. Â Keputusan politik itu ada di tangan DPR, karena Indonesia tak lagi memiliki lembaga tertinggi negara, seperti MPR di masa lalu.Â
Melalui DPR inilah, keputusan politik bisa dibuat. Hal ini sesuai dengan ajakan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) untuk menguasai DPR agar bisa dimulainya perumusan Syariat Islam, sehingga pada tahun 2020 Syariat Islam sudah bisa dijalankan di Indonesia, seperti harapan HRS.
"Jadi nggak mesti nunggu 20 tahun, nggak mesti 30 tahun, enggak. 2019 kalau kita bisa rebut secara konstitusional maka tahun 2020 Syariat Islam sudah bisa jalan di Indonesia," ujar Rizieq dengan berapi-api, seperti dikutip di laman Tagar.id (4/2/2019).
Namun, seperti yang dikatakan salah seorang penggagas media sosial Denny Siregar, yang mengatakan bahwa ketika HTI dibubarkan oleh Jokowi pada bulan Juli 2017, tidak terdengar sedikitpun suara dukungan dari Prabowo maupun partainya terhadap pembubaran kelompok pro khilafah itu. Bahkan menurut Denny, pada Mei 2018, Gerindra, PAN dan PKS justru mendukung HTI mengajukan banding atas pembubaran itu.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan pernyataan Prabowo bahwa ia tidak mendukung khilafah, toh bukti di lapangan terlihat jelas partainya mendukung keberadaan HTI. Jika Prabowo memang berjiwa nasionalis, kenapa ia tidak melarang gerakan yang jelas-jelas ditunggangi HTI?
Soal pertarungan dua ideologi ini memang sudah tampak sejak jauh-jauh hari, dan semakin menguat menjelang pelaksanaan Pilpres 2019 ini. Oleh karena itu, semuanya bergantung pada rakyat yang akan menggunakan hak pilihnya pada 17 April 2019.Â
Rakyat tentu saja harus  memilih pasangan yang bisa menyelamatkan bangsanya, yaitu pasangan yang jelas-jelas berideologi Pancasila, yang tidak memberikan sedikitpun tempat bagi berkembanganya paham radikalisme dan khilafah.Â
Dengan kata lain, Pilpres 2019 ini bisa diibaratkan sebagai referendum atau ajang jajak pendapat bagi rakyat untuk menentukan pilihan politik, antara tetap menjunjung tinggi negara kebangsaan yang berideologikan Pancasila dan UUD 1945.
Atau, adanya keinginan memilih Pemerintahan yang memberikan peluang bangkitnya kekuatan Khilafah, seperti yang dicita-citakan HTI dan Hizbut Tahrir di seluruh Dunia.Â