Mohon tunggu...
Sukarja
Sukarja Mohon Tunggu... Desainer - Pemulung Kata

Pemulung kata-kata. Pernah bekerja di Kelompok Kompas Gramedia (1 Nov 2000 - 31 Okt 2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Strategi di Pilkada DKI yang Tak Mudah Diterapkan Prabowo di Pilpres 2019!

5 Maret 2019   05:05 Diperbarui: 5 Maret 2019   06:02 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah sebuah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Persoalan keislaman yang ada dan berkembang, tidak bisa begitu saja dipisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk membawa Islam ke ranah politik.

Hal ini pula yang dicermati Cendekiawan Muslim Komaruddin Hidayat. Menurut mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, dalam konteks kehidupan beragama, Islam memang tidak mengenal adanya pemisahan antara ruang negara dan ruang publik.

Dengan kata lain, agama bukan lagi menjadi urusan privat semata seperti yang ada di Barat. Akan tetapi, aktivitas dan ekspresi keberagamaan ini juga aktif mewarnai ruang publik, bahkan masuk ke panggung Istana dengan fasilitas negara.

Oleh karena itu,  politik identitas selalu menjadi senjata bagi politisi yang lebih mengedepankan syahwat kekuasaan dibandingkan nilai-nilai persatuan yang ada.

Kita bisa melihat fenomena itu di Pilkada DKI Jakarta 2017 silam. Praktik Politik identitas yang dimainkan beberapa partai dengan dukungan ormas Islam, baik Front Pembela Islam (FPI) maupun HTI, eks ormas yang sudah dicabut izinnya oleh Pemerintah, bisa dikatakan begitu mudahnya untuk menggerus elektabilitas petahana Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (BTP), terlebih BTP juga diterpa kasus penistaan agama yang membawanya ke penjara. 

Apa yang terjadi di Jakarta, sepertinya tidak begitu mudahnya di bawa-bawa ke kontestasi Pilpres 2019. Yang dihadapi Prabowo Subianto di Pilpres, tak lain adalah Presiden Petahana Joko Widodo (Jokowi) yang bersanding dengan ulama kenamaan KH Ma'ruf Amin. 

Bahkan, dari sisi keagamaan, Prabowo bisa dikatakan tak cukup bisa menandingi Jokowi apabila strategi Prabowo di Pilkada DKI Jakarta diterapkan di Pilpres 2019. 

Hal ini bisa terjadi karena Prabowo sebagai calon presiden nomor urut 02, tidak bisa melepaskan diri dari stigma bahwa dirinya bukanlah sosok yang dianggap mewakili kelompok muslim. Untuk sebagian umat Islam, Prabowo cenderung dianggap sebagai 'Islam abangan', terlebih latar belakang keluarganya yang mayoritas non-Islam.

Dengan kata lain, Prabowo juga tak jauh beda dengan Jokowi yang nasionalis. Bahkan, Jokowi lebih diuntungkan lagi karena memilih KH Ma'ruf Amin yang diharapkan bisa menutup apa yang dianggap kurang.

Meskipun begitu, dukungan yang diberikan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab melalui ijtima ulama, sedikitnya ikut menaikkan elektabilitas Prabowo di mata umat Islam, khususnya umat yang masih menaruh hormat kepada sosok HRS.  Belum lagi, jargon Jokowi yang dianggap sebagai pendukung BTP yang selalu dikobarkan untuk menggerus elektabilitas Jokowi di mata umat Islam. 

Oleh karena itu, Kubu Prabowo-Sandi, tidak cukup menggunakan politik identitas seperti yang dilakukan di Pilkada DKI Jakarta, sehingga muncullah serangan-serangan lain, yang dikenal dengan sebutan 'Propaganda Rusia' atau operasi semburan fitnah (firehose of falsehood), yaitu propaganda yang dilakukan dengan cara menyebarkan kebohongan dan juga pesimisme.

Berbagai kasus penyebaran hoax bisa menjadi bukti strategi tersebut, diantaranya hoax penganiayaan Ratna Sarumpaet, hoax 7 kontainer surat suara tercoblos, tempe setebal ATM, hingga yang terakhir hoax yang melibatkan 3 orang emak-emak  Jawa Barat, yang mengatakan jika Jokowi terpilih maka suara azan akan ditiadakan dan perkawinan sejenis dilegalkan. 

Deklarasi Pemilu Damai/Kompas.com
Deklarasi Pemilu Damai/Kompas.com
Tentu saja, baik itu politik identitas maupun "Propaganda Rusia" akan membuat demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Mengapa? Karena pemilihan yang seharusnya menjadi perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih calon pemimpin berkualitas dan berintegritas, akhirnya justru bergeser menjadi sekadar caci maki yang penuh ujaran kebencian, serta hanya dipahami sekadar kalah atau menang dalam kontestasi elektoral. 
Dampaknya, tentu saja bisa merusak esensi demokrasi itu sendiri. Lebih jauh dari itu, isu SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) juga berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa.

Sekali lagi, menggunakan politik identitas atau pun propaganda Rusia memang merupakan sebuah kemunduran dalam berpolitik. Bahkan, politisi kita saat ini, sudah seharusnya malu dengan para pendahulu kita di masa lalu, dimana mereka lebih mengedepankan nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Bukan sebaliknya yang dilakukan saat ini,  semuanya sekadar untuk memuaskan syahwat kekuasaan belaka. Nauzubillah min zalik!

Salam dan terima kasih!

sumber:

  1. Kompas.com (10/11/2018): "SBY: Politik Identitas Makin Mengemuka Setelah Pilkada DKI"
  2. SindoNews.com (30/12/2016): "Agama di Ruang Publik"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun