Oleh karena itu, Kubu Prabowo-Sandi, tidak cukup menggunakan politik identitas seperti yang dilakukan di Pilkada DKI Jakarta, sehingga muncullah serangan-serangan lain, yang dikenal dengan sebutan 'Propaganda Rusia' atau operasi semburan fitnah (firehose of falsehood), yaitu propaganda yang dilakukan dengan cara menyebarkan kebohongan dan juga pesimisme.
Berbagai kasus penyebaran hoax bisa menjadi bukti strategi tersebut, diantaranya hoax penganiayaan Ratna Sarumpaet, hoax 7 kontainer surat suara tercoblos, tempe setebal ATM, hingga yang terakhir hoax yang melibatkan 3 orang emak-emak  Jawa Barat, yang mengatakan jika Jokowi terpilih maka suara azan akan ditiadakan dan perkawinan sejenis dilegalkan.Â
Dampaknya, tentu saja bisa merusak esensi demokrasi itu sendiri. Lebih jauh dari itu, isu SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) juga berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa.
Sekali lagi, menggunakan politik identitas atau pun propaganda Rusia memang merupakan sebuah kemunduran dalam berpolitik. Bahkan, politisi kita saat ini, sudah seharusnya malu dengan para pendahulu kita di masa lalu, dimana mereka lebih mengedepankan nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Bukan sebaliknya yang dilakukan saat ini, Â semuanya sekadar untuk memuaskan syahwat kekuasaan belaka. Nauzubillah min zalik!
Salam dan terima kasih!
sumber:
- Kompas.com (10/11/2018): "SBY: Politik Identitas Makin Mengemuka Setelah Pilkada DKI"
- SindoNews.com (30/12/2016): "Agama di Ruang Publik"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H