Bayangkan saja, ketika keran demokrasi itu dibuka lebar-lebar, tak mengherankan jika ada 48 partai politik yang mengikuti pemilu di tahun 1999, sedangkan sebelumnya Pemilu hanya diikuti 2 partai dan satu Golkar.
Dari setiap pemilu ke pemilu berikutnya, jargon pemilu damai akan terus menjadi jargon yang terus disuarakan.
Alasannya, Pemilu pasca-Reformasi ini harus dijaga agar tetap menjadi pemilu yang damai. Kualitasnya akan terus ditingkatkan, dan itulah yang membedakannya dengan pemilu di masa Orde Baru.
Tak perlu ada lagi kecurigaan terhadap penyelenggara pemilu, yang saat ini dipegang Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen, dengan fungsionaris yang juga dipilih secara independen. Begitu pula, ada pihak-pihak yang mengawasipelaksanaannya, yang dipilih dan dingakat juga secara independen.
Hal ini jelas berbeda ketika pemilu diadakan di masa orba, dimana penyelenggara pemilu adalah Kementerian Dalam Negeri, yang tak lain berada di bawah penguasa Orde Baru sendiri.
Pemilu damai adalah sebuah harapan untuk hidupnya sebuah demokrasi. Pemilu damai adalah upaya agar kita tak lagi kembali ke masa lalu, dimana demokrasi hanya sebuah slogan belaka.
Pemilu damai adalah upaya untuk menjaga apa yang telah dilakukan para pejuang reformasi agar bisa terus berjalan dalam koridornya yang benar, dan tidak justru kembali ke masa-masa yang otoritarian, seperti yang terjadi pada pemerintahan di era Soeharto, yang menurut beberapa aktivis, sangat kejam sehingga bangsa Indonesia jangan pernah kembali ke masa tersebut.
"Otoriter itu kejam, jangan kita kembali ke masa-masa itu. Ini pesan saya di usia lanjut, tolong pertahankan demokrasi, konsolidasikan demokrasi, canangkan dengan baik, jangan kebelinger," kata Jimmy Siahaan, aktivis 77 dan 78, dalam diskusi bertema "Gerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa" di Jakarta, Rabu (2/5/2018).
Reformasi sudah berjalan hingga 20 tahun. harus diakui, bahwa cita-cita reformasi belum selesai, dan masih harus terus diperjuangkan.
Tantangan yang kita hadapi pun terus berkembang, mulai dari intoleransi, radikalisme, dan juga terorisme. Semua itu harus dihadapi secara bersama-sama. Kalau kita kalah, maka sia-sia sudah reformasi yang digulirkan para mahasiswa 20 tahun lalu.
Hal senada juga dikatakan aktivis 98 Eli Salomo Sinaga dalam Deklarasi Pemilu Damai yang diselenggarakan PepNews bahwa di negeri ini, tak perlu lagi ada ruang untuk intoleransi, radikalisme, apalagi terorisme.