Dua bulan menjelang Pemilu serentak DPR/DPRD, DPD, dan juga Pilpres, sebuah media warga bernama PepNews yg dikomandoi Pepih Nugraha mengumpulkan sekitar 30-an penulis. Mereka berkumpul di Hotel Santika, Slipi Jakarta, Ahad siang 17 Februari 2019 untuk mendeklarasikan Pemilu Damai.
Apa artinya 30 orang penulis? Apa juga artinya PepNews yang baru berusia sekitar dua tahunan ini? Dalam hitungan jumlah penulis, tentu saja hal ini mustahil bisa mengubah peta politik Indonesia yang sudah terlanjur karut marut seperti saat ini.
Apalagi, di hari yang sama, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga menggelar debat kedua Pilpres 2019. Jika mau dibandingkan, tentu saja gaung debat ini, jauh lebih nyaring terdengar daripada deklarasi 30-an penulis tersebut.
Namun, kita juga tak bisa sesekali menyepelekan sesuatu yang dipandang kecil. Bagaimana pun, sesuatu yang besar, semuanya juga dimulai dari yang kecil, bahkan sesuatu yang sama sekali tidak pernah dipandang sedikit pun.
Bagi para penulis ini, Pemilu Damai adalah hal yang mutlak, dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pemilu Damai adalah sebuah keniscayaan yang harus disebarluaskan gaungnya, karena dari sinilah pertaruhan untuk menjaga reformasi tetap berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan. Â Â
Pemilihan umum adalah bagian dari proses berdemokrasi. Melalui pemilu yang berlangsung secara serentak pada 17 April 2019, kita bisa menentukan siapa wakil-wakil kita yang akan duduk di DPR (termasuk DPRD I/DPRD II), dan DPD, serta kita juga bisa menentukan siapa Presiden yang akan memimpin Indonesia untuk lima tahun kedepan.
Pemilu yang digelar secara serentak 17 April 2019 mendatang merupakan pemilu ke-12 yang pernah diadakan bangsa kita. Kita semua berharap pemilu tersebut bisa berlangsung secara damai, tanpa sedikit pun terjadi hal-hal yang bisa mencederai nilai-nilai demokrasi yang kita anut selama ini.
Â
Pemilu Pertama di Tahun 1955
Kalau kita berkaca pada pemilu pertama yang diadakan pada tahun 1955, sudah sepantasnya kita merasa bangga, bahwa pemilu yang diadakan saat usia kemerdekaan Indonesia yang baru 10 tahun itu, ternyata mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu pertama itu bisa berlangsung dengan aman, lancar, jujur, adil, dan juga demokratis.
Cerita manis tentang Pemilu 1955 itu diabadikan Herbert Feith dalam bukunya, "The Indonesian Election of 1955' yang terbit pertama kali tahun 1957.