Pidato Prabowo pun sepertinya tidak menawarkan solusi dari apa yang dikatakannya. Misalnya, mengenai swasembada pangan, swasembada energi, atau bagaimana meningkatkan daya saing industri. Apa yang dikatakan itu masih sebatas wacana.
Kalau mau disebut, pidato Prabowo ini hanya mengungkapkan 'kita harus' atau 'kita akan' tanpa diberikan cara mewujudkannya.
Ataukah mungkin, lantara belum berkuasa, sehingga cara dan tekniknya tidak diungkapkan. Namun, tentu saja itu hanya wacana, setelah berkuasa pun, Prabowo belum tentu bisa diwujudkannya.
Bagaimana orang bisa mempercayainya, jika untuk Visi dan Misi pencapresannya saja diubah di tengah jalan.
Dengan kata lain, orang akan berpikir seakan-akan, Prabowo dan Sandiaga Uno ini memiliki kesiapan untuk memimpin sebuah negara sebesar Indonesia ini.
Hal terburuk dari pidato kebangsaan ini, pidato ini banyak dihiasi dengan keluhan, sinisme, dan juga rasa pesimisme. Dan, semua itu, nyatanya tak sesuai dengan apa yang dirasakan masyarakat.
Bermata tapi Tak melihat
Dalam pidatonya, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menilai Prabowo cenderung menyerang dan menihilkan prestasi yang dicapai Pemerintahan saat ini. Hal inilah yang diumpamakan sebagai 'bermata tapi tak melihat'.
Bagaimana mungkin Prabowo tidak melihat dan merasakan prestasi yang telah ditorehkan Indonesia di ajang olahraga terbesar di Asia, Asian Games 2018 dan Asia Para Games 2018. Bukankah dirinya ada di antara para atlet yang berjuang mengharumkan nama bangsanya.
Apakah Prabowo juga tidak menyadari, ketika negara lain justru memuji kemampuan Indonesia menyelenggarakan pesta olahraga se-Asia itu.
Bahwa Indonesia akhirnya mendapatkan dua kesuksesan, baik sukses sebagai penyelenggara maupun sukses dalam prestasi, semua itu adalah sesuatu yang tak bisa disembunyikan.