Pada Senin, 14 Januari 2019 lalu, capres nomor urut 02 Prabowo Subianto menyampaikan pidato kebangsaan yang bertajuk "Indonesia Menang" di JCC Plenary Hall, Jakarta.
Pidatonya membuat banyak orang terpana dan terkesimah, khususnya mereka yang ada di dalam Plenary Hall.
Bukanlah hal yang mudah menyampaikan pidato tanpa naskah yang begitu panjang, disertai data dan angka yang juga begitu rumit. Namun, semua itu tampaknya tidak sulit dilakukan Prabowo Subianto.
Pidato Prabowo tanpa naskah ini banyak mendapat  pujian dari para netizen, lebih-lebih dari para pendukung fanatiknya. Namun, ternyata apa yang diperkirakan, semuanya salah.
Kenyataannya, saat berpidato Ketua Umum Partai Gerindra ini tetap menggunakan teks atau naskah pidato. Benar, Prabowo berpidato dengan sebuah alat yang dinamakan teleprompter. Melalui alat itulah Prabowo berpidato sambil membaca naskah.
Bukan soal berpidato tanpa teks atau menggunakan teks, seperti mengikuti gaya Bung Karno ketika berpidato.
Namun, yang terpenting adalah bagaimana isi dari pidato itu, apalagi pidato ini dinamakan sebagai Pidato Kebangsaan.
Mendengar namanya 'Pidato Kebangsaan' membuat hati ini bergetar. Pidato kebangsaan hanya patut dibacakan oleh seorang negarawan, tentu isi pidatonya bersih dari segala kepentingan sesaat, juga jauh dari hal-hal yang tak selayaknya diucapkan seorang negarawan.
Seperti halnya juga pidato yang baik, pidato kebangsaan isinya bersumber dari data yang benar dan juga menginspirasi.
Apabila kita menyimak isi pidato yang disampaikan Prabowo, kita tak menemukan sesuatu yang istimewa. Apa yang disampaikan bukanlah hal baru. Semuanya sama saja, seperti yang selama ini disampaikan Prabowo, tak jauh dari kritiknya kepada Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).
Kritik yang disampaikan tanpa didasari dengan sumber data yang jelas dan kredibel, sama artinya dengan asal bunyi alias asbun. Tak punya makna apa-apa.