Ketika negara ini terbentuk lebih dari 73 tahun lalu, para the founding fathers kita bersepakat bulat pada satu ideologi negara, yakni ideologi Pancasila.
Ideologi Pancasila inilah yang akan menjadi tali pengikat di antara berbagai keragaman yang ada, baik suku, agama, ras, dan antargolongan.
Buktinya, dengan lima sila di dalamnya, mampu menyatukan berbagai keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Para pendahulu kita menggali nilai-nilai Pancasila dalam satu jiwa dengan Piagam Jakarta dan Piagam Madinah, dengan tujuan yang sama, yaitu menyatukan berbagai perbedaan. Oleh karena itu, tak ada lagi alasan bagi siapa pun yang mencoba mempersoalkan ideologi Pancasila.
Seperti diketahui, Piagam Jakarta merupakan bentuk lain dari Pancasila, mengingat sila pertama yang terdiri dari kewajiban menjalankan syarat Islam bagi pemeluk-pemeluknya itu, disederhanakan dan diringkas menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hal ini bertujuan untuk menampung keinginan sebagian rakyat kita yang berbeda keyakinan. Selain itu, untuk tetap mengukuhkan keberadaan umat Islam sebagai mayoritas umat di negeri ini, para pemimpin kita saat itu sepakat melahirkan Departemen Agama sebagai wujud Islam dalam sebuah negara.
Seperti yang dikutip di laman Kemenag.go.id, dinyatakan bahwa berdirinya Departemen Agama pada 3 Januari 1946, sekitar lima bulan setelah proklamasi kemerdekaan, kecuali berakar dari sifat dasar dan karakteristik bangsa Indonesia, sekaligus sebagai realisasi dan penjabaran ideologi Pancasila dan UUD 1945
Inilah satu-satunya departemen yang menggambarkan Islam dalam wujud negara. Hanya di Indonesia, departemen yang banyak mengurusi kebutuhan umat Islam ini berdiri. Salah satu kebutuhan itu, antara lain soal pernikahan, waris, haji, dan lain sebagainya. Dan, Indonesia merupakan negara yang pertama di dunia yang memiliki kementerian yang menangani urusan agama.
Bagi organisasi Islam, seperti NU dan Muhammadiyah, yang sudah lebih realistis menegaskan bahwa Pancasila sebagai keputusan final. Oleh karena itu, siapa pun yang keluar dari kesepakatan, negara dengan segala kekuatannya akan menghancurkanya.
Di awal-awal pemerintahan Presiden Soekarno, negara yang masih muda ini terus saja digoyang oleh kelompok-kelompok yang merasa tidak puas.
Mereka menginginkan negara ini berideologikan seperti yang mereka miliki. Di antara pemberontakan yang terjadi, antara lain pemberontakan komunis Muso tahun 1948 dan Pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kartosuwiryo.