Seperti kita ketahui, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan merupakan salah satu partai tertua yang masih eksis keberadaanya di Tanah Air. PDI Perjuangan  juga tak lain adalah kelanjutan dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang didirikan pada tanggal 10 Januari 1973 sebagai hasil fusi 5 (lima) partai politik.
Kelima partai tersebut, di antaranya Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Partai Murba.
Proses fusi tersebut, sebenarnya bertujuan untuk menjamin kemenangan kekuatan Orde Baru. Dalam hal ini, penguasa Orde Baru telah mengaktifkan Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar) yang didukung oleh militer.
Melalui Tap MPRS No.XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan, dan Kekaryaan, disebutkan agar Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong royong (DPR-GR) segera membuat Undang-Undang untuk mengatur kepartaian, keormasan dan kekaryaan yang menuju pada penyederhanaan.
Oleh karena itu, Partai politik yang ada saat itu dikelompokan kedalam dua kelompok, yaitu kelompok materiil spirituil dan spirituil materiil.
Kelompok materiil spirituil, yaitu kelompok yang menekankan pada aspek materiil. Sedangkan, kelompok spirituil materiil lebih menekankan pada aspek spiritual. Kelompok pertama yang kemudian menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sedangkan kelompok kedua menjadi Partai Persatuan pembangunan (PPP).
Dan, faktanya, baik PDI maupun PPP tak pernah memenangkan sekalipun pemilihan umum yang digelar selama 32 tahun Soeharto berkuasa.
Meskipun PDI Perjuangan adalah hasil fusi dari 5 partai politik yang berbeda, sepertinya ideologi yang paling dominan dari PDI Perjuangan hingga saat ini adalah ideologi yang diwariskan Bung Karno melalui Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Bung Karno tanggal 4 Juli 1927 ini, yaitu Marhaenisme.
Perjalanan yang dilalui PDI Perjuangan hingga menjadi the ruling party (partai berkuasa), bukanlah perjalanan yang mudah. Â Dalam perjuangan politiknya, PDI Perjuangan seringkali menghadapi aral melintang, onak dan duri.
Bahkan, hingga saat ini, tidak jarang masih ada saja kekuatan di masyarakat yang mengaitkan kedekatan PDI Perjuangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Â Inilah hegemoni yang sukses dibangun Orde Baru.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri seringkali mengeluhkan tudingan soal PKI itu. Bahkan di bulan Februari 2017 lalu, Puteri Bung Karno ini meneken surat bernomor 2588/IN/DPP/II/2017 yang berisi bantahan hubungan PDIP dan PKI.
Pada suratnya yang terdiri dari lima poin itu, Megawati menyebut PDIP sebagai partai nasionalis dan tidak terkait dengan ideologi komunisme, yang memang sudah dinyatakan sebagai partai dan organisasi terlarang di Indonesia.
"PDIP melaksanakan nilai ketuhanan, kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila," tulis Megawati.
Alangkah naifnya jika ada yang mengaitkan PDI Perjuangan dengan komunisme, lantaran Soekarno sang pendiri PNI pernah mempuyai cita-cita menyatukan kekuatan bangsa yang ada saat itu, yakni Nasional, Agama, dan Komunis (Nasakom). Upaya itu memang  gagal. Namun, bukan berarti PNI atau PDI Perjuangan itu harus diidentikkan dengan komunis, karena PDI Perjuangan dan PNI itu tidak sama dengan PKI.
Kegagalan Soekarno menyatukan kekuatan politik saat itu dengan Nasakomnya, sepertinya juga dialami Soeharto yang gagal dengan menggabungkan kekuatan politik yang ada menjadi tiga kekuatan, yakni PPP, Golongan Karya, dan PDI. Buktinya, setelah rezim Orde Baru tumbang, merebak banyak partai ingin ikut berkompetisi dalam perpolitikan di Tanah Air.Â
Mengaitkan Soekarno dengan komunisme adalah upaya mengkerdilkan jasa dan semangat Bung Karno untuk kemerdekaan bangsa ini. Seperti yang dikatakan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD di dalam pengantarnya di buku Total Bung Karno karya Roso Daras:
Kita harus bersyukur karena Tuhan telah mengirimkan Bung Karno kepada Bangsa Indonesia. Bung Karno-lah yang dengan kuat dan gagah ikut menggugah kesadaran akan martabat dan harga diri kita sebagai bangsa sehingga akhirnya kita bisa membangun negara merdeka dan berdaulat.
Seandainya  Indonesia ini tidak menjadi negara merdeka takkan mungkin kita bisa menjadi seperti apa yang kita cita-citakan sendiri. Tanpa kemerdekaan takkan mungkin kita bisa membayangkan lahir banyak profesior, banyak menteri, banyak pejabat, banyak pebisnis, guru, tentara, polisi, dokter, bahkan presiden yang lahir dari putra bangsa sendiri.
Bahkan tanpa kemerdekaan, tak mungkin kita bisa mengelola sepenuhnya negara dan bangsa kita sendiri dengan segala kekayaan alam dan sosial budayanya yang adiluhung.
Bung Karno memang bukan satu-satunya pejuang dan pengantar bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan, tetapi harus diakui bahwa Bung Karno telah memainkan peran paling penting dalam perjuangan yang mempertaruhkan jiwa dan raga itu.
Sekadar untuk diketahui, di dalam pidatonya yang fenomenal di depan Sidang Umum PBB XV, 30 September 1960, Bung Karno mengutip  surat  Al-Hujarat (49):13, sebagai salah satu konsep kebangsaaan dari sudut pandang Islam.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.Â
Dalam buku Total Bung Karno, disebutkan pidatonya di forum dunia tersebut, Bung karno tak lupa mengutip AlQuran, khususnya ayat-ayat kebangsaan. Pasca pidato Bung Karno itu, banyak pemimpin negara Islam atau negara yang berasaskan Islam, termasuk Arab Saudi merasa kecolongan. Mengapa?
Sebab, sebelumnya tak pernah satu negara pun yang mengutip ayat suci AlQuran dalam pidatonya. Hanya Bung Karno, Presiden Republik Indonesia yang melakukan itu. Karena pidato berjudul To Build the World Anew, Membangun tatanan Dunia yang Baru, Bung Karno dinobatkan sebagai Pahlawan Islam Asia-Afrika.
Penobatan itu dilakukan pada pertemuan para pemimpin negara Asia Afrika d Kairo Mesir, yang kemudian melahirkan Gerakan Non Blok, tahun 1961.
Itulah segelintir bukti ketaatan Bung Karno terhadap agamanya Islam. Bagaimana mungkin seorang Bung Karno yang muslim taat ini dikatakan dekat dengan komunis atau bahkan komunis.
Bahkan bukan hanya Bung Karno yang diserang sebagai komunis, salah satu kader PDI Perjuangan Joko Widodo (Jokowi) yang saat ini menjadi Presiden ke-7 Republik Indonesia, juga tak luput dari serangan yang sama, dimana Jokowi dianggap antek komunis. Padahal, ketika PKI dibubarkan saja, saat itu Jokowi masih balita.
Dengan kata lain, seandainya masih ada yang mengaitkan antara PDI Perjuangan dengan komunis, bisa jadi itulah kekuatan yang memang tak menghendaki cita-cita Bung Bung Karno yang mengangkat harkat dan martabat bangsanya kembali bergelora.
Merdeka!
***
Sumber :Â PEPNEWS.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H