Sebagai bangsa, sepertinya kita tidak akan mungkin bisa memberantas kejahatan tindak pidana korupsi hingga ke akar-akarnya, jika kita tidak memulainya dari tingkat kekuasaan yang paling tinggi di negeri ini.
Bagaimanapun, keberhasilan sebuah negara menekan korupsi hingga pada titik yang paling rendah, juga dimulai dari komitmen Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi pemerintahan negara.
Oleh karena itu, kontestasi Pilpres 2019 nanti, kita hanya diberikan dua pilihan. Pertama, apakah sebagai bangsa kita tetap berkomitmen menyelamatkan bangsa ini dari korupsi yang sudah semakin akut, sampai korupsi benar-benar hilang. Kedua, kita membiarkan pemberantasan korupsi berjalan di tempat, dan hukuman apapun tidak memberikan efek jerah bagi pelakunya.
Dukungan kita kepada capres yang berkomitmen tinggi dalam pemberantasan korupsi, tidak hanya didasari oleh rekam jejak dari capres dan cawapresnya. Kita juga perlu melihat rekam jejak dari partai-partai pengusungnya.
Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Jika Anda ingin menentukan pilihan kepada Pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 ini, perlu diperhatikan pula rekam jejak dari keduanya, baik ketika sebagai pejabat maupun ketika terjun ke dunia bisnis.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya, kita perlu melihat tokoh-tokoh yang ada di balik partai pengusungnya. Adakah di antara mereka yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung dalam aktivitasnya yang merugikan keuangan negara.
Yang tak bisa dihindari dari pasangan nomor urut 02 ini, adanya dukungan dari Partai Berkarya. Dukungan ini tidak bisa dilepaskan dari sosok Titiek Soeharto, yang tak lain adalah mantan istri Prabowo Subianto.Â
Partai Berkarya yang didirikan keluarga Cendana ini, diketuai oleh Tommy Soeharto, anak bungsu Soeharto, Presiden ke-2 Republik Indonesia, yang berkuasa hingga 32 tahun.
Kesinambungan rezim Orde Baru yang ditawarkan Partai Berkarya kepada Prabowo-Sandi jika berhasil berkuasa, begitu mengkhawatirkan. Betapa tidak, rezim ini dianggap bertanggung jawab atas krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1998.Â
Krisis multidimensi yang terjadi saat itu, tak pelak ikut mengakhiri rezim Soeharto yang bercokol selama 32 tahun ini, rezim yang kental dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)-nya. KKN itulah yang membuat negeri ini begitu rapuh, sehingga tak kuasa menghadapi goncangan ekonomi dunia.
Selain itu, rakyat pun perlu mengetahui banyak soal fakta kematian seorang Syafiuddin Kartasasmita yang terjadi pada 26 Juli 2001. Syafiuddin Kartasasmita adalah Hakim Agung/Ketua Muda Bidang Pidana Mahkamah Agung (MA) RI.Â