Setiap memasuki tahun politik seperti sekarang ini. Khususnya, di jajaran elite partai  yang ikut kontestasi pemilihan presiden (Pilpres), nama Siti Hediati Hariyadi, atau Siti Hediati Soeharto, atau Titiek Soeharto kembali menjadi perhatian publik.
Titiek terlihat begitu dekat dengan Prabowo Subianto, melebihi kedekatan Prabowo dengan ketua umum partai lain yang berkoalisi dengan Gerindra. Kedekatan keduanya dalam kegiatan politik, memang terlihat dalam dua kali kontestasi Pilpres yang diikuti Prabowo, baik di Pilpres 2014 maupun di Pilpres 2019.
Nama wanita ini memang tak bisa dilepaskan begitu saja dari sosok calon presiden nomor urut 02 tersebut. Prabowo dan Titiek pernah hidup bersama sebagai sepasang suami istri. Keduanya menikah  pada 8 Mei 1983, dan di tahun 1984 Titiek melahirkan anak semata wayang mereka Ragowo Hediprasetyo atau yang lebih dikenal sebagai Didit Hediprasetyo alias Didit Prabowo.
Sebagai menantu Presiden Soeharto, yang berkuasa selama 32 tahun, bintang keprajuritan Prabowo ikut meredup setelah reformasi 1998 melengserkan mertuanya. Hubungan Prabowo dan ipar-iparnya pun ikut memburuk. Bahkan, Prabowo dianggap sebagai biang keladi kejatuhan Soeharto.
Kejatuhan rezim Orde Baru di dalam sejarah politik di Tanah Air ini, ikut menghancurkan mahligai perkawinan keduanya. Titiek dan Prabowo pun berpisah. Namun, sejak Pilpres 2014 sampai jelang Pilpres 2019 ini, belum terlihat tanda-tanda bahwa Prabowo dan Titiek akan kembali rujuk, meskipun keduanya beberapa kali tampil mesra di depan publik. Meski tidak hidup serumah, ternyata Titiek tetaplah menjadi  pendukung pencapresan Prabowo, mantan terindahnya itu.
Ada apa sebenarnya kedekatan ini? Adakah kedekatan ini karena kenangan romantisme keduanya dahulu. Atau ada tujuan politik untuk mengembalikan apa yang hilang 20 tahun lalu? Publik mungkin tidak akan mudah menerka. Jika masyarakat mau mencermati, tentu tampak jelas terlihat benang merahnya.
Lain halnya dengan sekarang. Titiek sudah memiliki kendaraan politik sendiri, Partai Berkarya yang diketuai adiknya Tommy Mandala Putra Soeharto alias Tommy Soeharto. Jika dicermati dari pernyataan-pernyataan elite partainya dan putra-putri mantan Presiden Soeharto sebagai pendiri Berkarya, maka kita bisa memastikan bahwa partai ini mengusung kembalinya rezim Orde Baru.Â
Hal ini, seperti juga apa yang dikatakan Sekjen Partai Berkarya, Prio Budi Santoso, Â bahwa Partai Berkarya berpandangan beberapa ajaran Pak Harto dianggap dapat menjadi jalan keluar dari hiruk pikuk bangsa saat ini yang dianggapnya tak kunjung selesai. Dengan kata lain, Partai besutan Keluarga Cendana ini menganggap bahwa sistem pemerintahan Soeharto dan Orde Baru masih relevan.
Dalam acara haul Soeharto dan peringatan ke-51 Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) di Masjid At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Sabtu 11 Maret 2017 lalu , Â Titiek Soeharto menyatakan reformasi telah gagal. Setelah 20 tahun reformasi atau berakhirnya Orde Baru, ternyata kondisi negara tak berubah signifikan.
"Enak zaman Soeharto. Aman, gampang cari makan, dan gampang cari pekerjaan," kata Titiek.Â
Sudah cukup...
Sudah saatnya Indonesia kembali seperti waktu era kepemimpinan Bapak Soeharto yang sukses dengan swasembada pangan, mendapatkan penghargaan internasional dan dikenal dunia.https://t.co/G58g7RuE5I--- Titiek Soeharto (@TitiekSoeharto) November 14, 2018
Hubungan antara Partai Berkarya dengan Prabowo Subianto, sebagai pendiri Partai Gerindra, bukanlah hubungan yang biasa saja. Hubungan ini bukan sekadar hubungan antarpartai, tapi ada emosi dan ambisi di dalamnya.
Prabowo sendiri pernah merasakan nikmatnya berada di posisi paling dekat dengan kekuasaan. Jadi, tak mungkin jika ambisi Prabowo yang terus mengikuti kontestasi Pilpres tidak didasari oleh keinginannya untuk kembali menikmati kekuasaan. Kekuasaan itu manis.
Jikalau ada  secercah keinginan mensejahterakan rakyat, itu pun tanpa harus menghilangkan  manisnya kekuasaan, seperti yang terjadi selama 32 tahun rezim Orba berkuasa.  Rezim yang begitu otoriter, dengan KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) sebagai hiasannya.Â
"Mereka mencoba mengakali kemustahilan untuk mengembalikan kekuatan dan kenikmatan yang mereka pernah rasakan," kata Pengamat politik dari Centre for Strategic of International Studies atau CSIS, J. Kristiadi kepada Tempo, Senin, 13 Maret 2017.
Hasilnya apa? Selama 32 tahun memimpin, Â ternyata kekuatan ekonomi dan politik yang ada, hanyalah fatamorgana. Semuanya runtuh dan hancur seketika tatkala gelombang tsunami ekonomi melanda dunia. Rezim yang dilahirkan Soeharto pun jatuh, Indonesia seperti berada pada titik paling nadir.
Jika Anda bertanya kepada saya, mengapa Titiek dan Prabowo tidak lantas kembali rujuk pasca Pilpres 2014 lalu. Jawaban saya, mungkin karena Prabowo gagal meraih kursi orang nomor satu di negeri ini.Â
Namun, bagaimana jika Prabowo berhasil mengalahkan Jokowi di Pilpres 2019. Jawaban saya, bisa jadi keduanya akan kembali rujuk, karena apa yang membuat mereka berpisah dahulu, sudah mereka temukan kembali.
sumber:
1. TIRO.ID (27/08/2018) "Prabowo & Titiek Soeharto: Dingin sejak 1998, Mesra tiap Pilpres"
2. TEMPO.CO (13/03/2017 ) "Rezim Orde Baru Bangkit, Pengamat: Produk Reformasi Harus Waspada"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H