Berbohong adalah sikap memalsukan sesuatu, baik berupa keadaan maupun informasi agar yang mendengar kebohongan itu juga dapat mempercayainya. Tentu saja, kebohongan akan menguntungkan siapa pun yang berbohong. Untuk maksud tertentu, berbohong bisa dikatakan baik, namun sebagian besar kebohongan itu bukanlah sesuatu yang baik. Oleh karena itu, agama melarangnya.
Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, mengatakan:
 "Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada perbuatan baik, dan perbuatan baik menunjukkan kepada surga dan sesungguhnya seseorang yang membiasakan jujur ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.
Dan, sesungguhnya dusta menunjukkan kepada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa menunjukkan kepada neraka, dan sesungguhnya seseorang yang biasa berdusta ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." (HR. Bukhari Muslim).
Bahkan, soal kebohongan ini, Allah Ta'ala menjabarkan di dalam firman-Nya
"Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta" (QS. An-Nahl [16]: 105).
Tanpa harus membawa-bawa soal moral dan agama, kebohongan tetaplah tidak dibenarkan. Jadi, apapun alasannya, kebohongan itu lebih banyak tidak baiknya (mudharatnya). Dengan kata lain. apabila seseorang sudah sekali berbohong, maka dia akan melakukan kebohongan kedua, dan itu untuk menutupi kebohongan pertama. Begitu juga seterusnya. Oleh karena itu, janganlah mencoba untuk berbohong, meskipun hanya sekali.
Berkaitan dengan kebohongan yang disampaikan Ratna Sarumpaet kepada rekan-rekannya di Koalisi Indonesia Adil Makmur yang mengusung pasangan Prabowo-Sandi, seperti Fadli Zon dan Hanum Rais, bahkan termasuk Prabowo Subianto dan Amien Rais, tentu saja ada alasan di balik kebohongan itu.
Sebagai seorang wanita yang sudah berusia 70 tahunan, mungkin saja Ratna enggan mengatakan bahwa wajahnya lebam akibat operasi plastik (oplas) yang dilakukannya di sebuah tempat di bilangan Menteng, Jakarta.
Dengan posisinya sebagai juru kampanye nasional Prabowo-Sandi, Ratna punya posisi penting untuk mengkapitalisasi kebohongan untuk konsumsi kelompok yang disebut Emak-Emak, kelompok yang menurut Sandiaga Uno paling menderita di tengah fluktuasi Dollar terhadap Rupiah. Namun, bila diketahui dirinya melakukan oplas, maka jargon emak-emak sebagai pihak yang paling menderita selama Pemerintahan Jokowi tak lagi punya nilai jual yang tinggi. Masa sih protes soal harga-harga kebutuhan pokok,tapi untuk Oplas begitu mudahnya dilakukan.
Buat Anda semua yang membaca tulisan ini, bagaimana menurut Anda kebohongan yang terjadi di kubu pengusung Prabowo-Sandiaga itu? Belum lagi ada kejelasan mengenai mahar politik Rp.500 miliar yang diberikan Sandiaga Uno kepada PKS dan PAN agar merestui dirinya sebagai bakal cawapres Prabowo Subianto. Kini, publik sudah dihebohkan dengan kebohongan seputar Oplas-nya Ratna Sarumpaet.
Kebohongan sama sekali tidak menguntungkan siapa-siapa. Lalu kenapa berbohong? Banyak alasan yang dicari seseorang saat dia melakukan kebohongan. Namun, sebagian besar adalah untuk menutupi fakta atau mengarahkan pemikiran orang (sebenarnya ini lebih pantas disebut dengan istilah menghasut). Selain itu, Â alasan lainnya berbohong adalah karena kepepet (waktu, keadaan, uang, dan sebagainya).
Nah, jika Anda harus berbohong, biasanya karena apa? Ketika harus berbohong, bisakah itu Anda lakukan hanya sekali?
sumber: Hidayatullah, Tempo,  Kompas,       Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H