Bencana alam bertubi-tubi datang silih berganti. Dari satu provinsi ke provinsi lainnya. Harus selalu diingat dan menjadi catatan, juga kesadaran kita semua, dari generasi ke generasi bahwa negara yang kita cintai ini secara geografis berada di kawasan yang dikenal sebagai 'Ring of Fire' atau 'Cincin Api'.
Ring of fire merupakan istilah untuk lempeng tektonik yang tepinya mencapai 40 ribu kilometer, melingkari Samudra Pasifik, serta mencakup hampir seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, keadaan kita yang berada di kawasan ring of fire harus membuat masyarakat senantiasa siap terhadap segala kemungkinan terjadinya bencana-bencana geologis, seperti letusan gunung berapi dan gempa bumi.
Karena itu, ketika datang bencana, sepatutnya kita tak perlu lagi menumpahkan alasan bencana ini terjadi karena adanya kesalahan dari pemerintahan ini atau negara ini. Kalau itu yang jadi alasan, maka sebenarnya kita belum bisa memahami mengapa Tuhan memberikan "Cincin Api" itu di negara kita.
Bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan lain sebagainya sudah terjadi dari dahulu kala. Bahkan, bencana nasional gempa dan tsunami di Aceh itu terjadi ketika Pemerintahan ini dibawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebelum negara ini berdiri pun gempa bumi sudah pernah terjadi.
Bagi rakyat di manapun, dalam keadaan apa apapun, yang diharapkan adalah kehadiran negara di tengah rakyatnya yang sedang dirundung malang.
Bencana alam gempa bumi yang beruntun datang , baik di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) maupun gempa bumi yang disertai tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, Â selalu menjadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kehadiran Jokowi di tengah rakyatnya yang mengalami penderitaan akibat bencana, menjadi bukti bahwa Negara ikut hadir di tengah-tengah nestapa rakyatnya.
Kunjungan Jokowi ke setiap wilayah bencana, bukan sekadar untuk melihat apa yang terjadi, tetapi juga ingin lebih dekat mengetahui dan merasakan apa yang tengah diderita rakyatnya. Bahkan, apabila diperlukan, Jokowi pun kadang melakukan rapat terbatas kabinet yang dipimpinnya di wilayah bencana, termasuk sampai menginap di tenda pengungsian. Dengan begitu, Â Pemerintah pun bisa segera melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Bocah kecil pemberani ini saya temui di lokasi pengungsian di kota Palu. Ibunya meninggal, ayahnya dirawat karena luka. Ia juga terluka.
Di Palu dan Donggala, banyak cerita sedih dan memilukan. Tapi kita tetap harus bangkit dan bergerak maju. Bencana ini kita hadapi bersama. pic.twitter.com/RwdaKqyKbf— Joko Widodo (@jokowi) October 3, 2018
Pemandangan di atas, adalah sebuah kisah di wilayah Bencana, dimana seorang anak yang ingin ikut bersama Jokowi. Momen haru yang ditemui Jokowi usai meninjau proses evakuasi di Hotel Roa-Roa, Kota Palu, Rabu (3/10/2018). Tampak seorang anak korban bencana menghampiri Presiden dan bertanya apakah dirinya boleh ikut menumpang mobil atau tidak.Â
Jokowi mengajak anak itu ke mobilnya, dan memberikannya beberapa bungkus biskuit kepada anak tersebut. Kemudian, datang seorang wanita di yang mengaku bahwa anak itu adalah keponakannya. Menurut wanita itu, Anak itu kini tidak lagi memiliki ibu, sedangkan ayahnya menjadi korban gempa dan sedang dirawat di rumah sakit. Jokowi kemudian memberikan pesan kepada anak tersebut, "sekolahnya yang baik ya," sembari mengusap-usap punggungnya. Anak laki-laki itu menjawab, "iya."Â
Misalnya hari-hari belakangan ini, ketika rival politiknya disibukkan dengan permintaan maaf akibat hoax yang disebarkannya sendiri terkait kebohongan Ratna Sarumpaet, Jokowi tetap disibukkan dengan tugas-tugas rutin kenegaraan yang sudah terjadwal.
Namun, tugas lainnya yang sifatnya dadakan, seperti mengunjungi korban bencana di beberapa daerah tetap dilakukannya, begitu juga  memantau kondisi terakhir wilayah bencana Lombok  tak dilewatkan.
Kadang para politisi, khususnya yang menjadi rival Jokowi di Pilpres 2019 memainkan isu bencana ini sebagai komoditas politik. Dengan meminta Pemerintah menaikan status bencana dari lokal menjadi bencana nasional, sebenarnya bukan terletak pada permintaan agar negara sungguh-sungguh menangani persoalan yang terjadi. Â Karena apapun statusnya, baik itu bencana lokal maupun nasional, Pemerintah tetap memperlakukannya secara serius, tanpa membedakannya sedikit pun.
Dalam kondisi negara  dilanda musibah,  adalah hal utama bagi kita semua untuk punya empati dan bahu-membahu, tidak lantas mengkapitalisasi bencana untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
Sikap yang disampaikan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) patut diacungi jempol. Â Meskipun posisi politiknya tidak mendukung Jokowi, Â SBY tetap memuji aksi cepat yang dilakukan Presiden Joko Widodo dalam meninjau kondisi Palu setelah gempa bermagnitudo 7,4 mengguncang Sulawesi Tengah. Apa yang dilakukan SBY ini merupakan empatinya seseorang yang juga pernah berada dalam posisi yang sama seperti Jokowi saat ini, Â yang membutuhkan dukungan moril dari sesama anak bangsa.
Apapun alasannya, kesampingkanlah perbedaan politik yang ada di antara kita ketika rakyat tengah mengalami musibah. Sudah sepatutnya, kita bersama meringankan beban yang diderita rakyat, bukannya justru berpolitik untuk sebuah kekuasaan. Kalau itu yang terjadi, apa makna kekuasaan yang sedang dicari, bukankah sama-sama untuk membuat rakyat bahagia? Â
Bila Anda tertarik dengan tulisan ini, silahkan di-Like dan juga Share. Jangan lupa pula untuk mengisi komentar-komentar Anda di bawah ini! Tulisan saya lainnya bisa dibaca di sini!Â
Terima kasih!
sumber:Â Viva, Liputan6, Kompas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H