Mohon tunggu...
Syaipul Adhar
Syaipul Adhar Mohon Tunggu... profesional -

ekonom, planner, politician, like writing, reading n diskusi...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Abaikan Nasional, Bangun Regional

23 Juli 2013   15:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:09 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bak memilih telur dulu atau ayam dulu, bagi Borneo kedua perspektif punya resiko pilihan. Tetapi, secara keunggulan komparatif dan potensi pasar tentu saja pola pasra tunggal dalam masyarakat ekonomi ASEAN lebih menjanjikan. MP3EI terlalu segmented pada satu produk.

Jika dilihat secara nasional, persoalan kita akan menjadi lebih besar terkait inkonsistensi kebijakan dan rendahnya daya saing. Lembaga pemeringkat standard and poor’s menurunkan tingkat perekonomian Indonesia dari positif, menjadi stabil dan dan sovereign credit rating BB+ long term dan B short term. Penurunan dipicu oleh lemahnya implementasi kebijakan. Kapet, MP3EI dan entah apa lagi paskapemilu 2014.

Menurut World Economic Forum (WEC) 2011, tingkat daya saing Indonesia berada pada posisi ke 46, jauh tertinggal dari Singapura yang berada pada urutan 2, Malaysia urutan 21 dan Thailand di urutan ke 39. Bahkan, posisi Indonesia masih lebih baik ketika krisis 1997.

Seberapa besar pengaruh kedua hal di atas bagi regional Borneo? Persoalan daya saing dan inkonsistensi kebijakan nasional akan tertutupi dengan melimpahnya SDA dan letak geografis yang berdekatan antar negara ASEAN. Tinggal membangun infrastruktur dan membahas nota kesefahaman antarkawasan.

Jika MEA terealisasi, pembentukan Masyarakat Ekonomi Borneo (MEB) tinggal dieksekusi oleh masing- masing pemimpin daerah. Alangkah besarnya potensi ini jika dikelola dengan baik. Sebut saja Kalsel dengan banyaknya pabrik baja dan raw material seperti pertambangan serta perkebunan sawit, tidak perlu berkiblat ke Pulau Jawa, Cina atau Amerika (yang dalam perdagangan internasional kita lemah), potensi pasar tunggal ASEAN lebih menjanjikan.

Dalam kacamata lumbung energi, persoalan elektifikasi dan market share listrik, seharusnya tidak lagi jadi domain PLN sebagai monopolis. Integrasi Sistem Kelistrikan Asean (ASEAN Power Grid) akan menjawab dengan sendirinya, tidak perlu menggugat aturan pusat yang memang tidak harmonis itu.

Dalam skala sub regional, Forum Kerjasama Ekonomi Borneo sudah termaktub dalam BIMP - EAGA (Brunai Darussalam, Indonesia (Kalbar, Kaltim, Sulut) Malaysia dan Philippina. Tinggal menyiapkan aksi nyata yang jelas dan terukur. Dalam waktu dekat, bisa saja lima provinsi di Borneo melakukan letter of inten (LoI) dengan dua negara sedaratan (Malaysia, Brunei) sebagai awal.

LoI akan ditindaklanjuti dengan dasar- dasar hukum secara nasional yang telah berlaku seperti Kepres KPS (Kerjasama Pemerintah Swasta) dan protokol MEA 2015.

Integrasi ekonomi tentu berbeda dengan integrasi wilayah, MEA tentu berbeda dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dengan mata uang tunggal.

Tetapi, membentuk nota kesefahaman dan sekretariat bersama dengan pemimpin ekonomi tunggal tentu tidak salah, jika dilakukan di Borneo atau ASEAN. Sekarang saatnya ambil kebijakan, bangun regional Borneo sendiri. Ciptakan pasar dengan rasa lokal. (*)

unda_ekonom@yahoo.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun