Mohon tunggu...
Akhmad Syaikhu
Akhmad Syaikhu Mohon Tunggu... Administrasi - Kuli Dunia

"Semakin bertambah ilmuku, semakin aku tahu akan kebodohanku"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Chaos-nya Pembatalan Perda oleh Jokowi

20 Juni 2016   11:52 Diperbarui: 20 Juni 2016   11:56 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: elshinta.com

Rusaknya tatanan hukum Indonesia. Itu yang tercetus dalam benak penulis ketika ada berita luar biasa namun ‘tidak heboh’-kan oleh media (mungkin kalah dengan akting blow up sebuah warung nasi di Sebuah Provinsi). Jokowi membatalkan sekurangnya 3.143 Perda! Terbanyak sepanjang ketatanegaraan di Indonesia.

Peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang dibatalkan itu adalah peraturan yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi. Selain itu, peraturan tersebut dianggap menghambat proses perizinan dan investasi serta menghambat kemudahan berusaha dan peraturan-peraturan tersebut juga dinilai bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.

"Saya tegaskan bahwa pembatalan ini untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar, yang toleran dan memuliki daya saing," ujar Jokowi.

Jokowi membatalkan Perda-Perda yang dianggap bermasalah tersebut dengan memakai kewenangan yang dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri berdasarkan pemberian dari UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pertanyaannya, apakah benar demikian? Apakah memang Kemendagri mempunyai kewenangan secara sepihak dapat membatalkan Perda?

UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Berdasarkan Pasal 251 UU Pemda, disebutkan dalam ayat (1) bahwa Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.

Lalu dilanjutkan pada ayat (2) bahwa Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Dalam ayat (3) dijelaskan bahwa Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota.

Dalam ayat (4) disebutkan bahwa Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Simpulnya, Kemendagri memang memiliki kewenangan untuk membatalkan secara sepihak pembatalan sebuah produk aturan Daerah karena dinilai melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan sesuai dengan ketentuan Pasal 251 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Namun apabila mencermati secara aturan mengenai perundang-undangan, dasar hukum yang dipergunakan Mendagri untuk melakukan pembatalan itu adalah tidak tepat secara hukum. Isi UU No 23 Tahun 2014 Pasal  itu bertentangan dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan.

UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan

Dalam Pasal 9 UU No 12 Tahun 2011 yang menyatakan apabila dugaan pertentangan UU dengan UUD, diperiksa dan diputus MK. Sedangkan apabila terdapat dugaan pertentangan peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, diperiksa dan diputus oleh MA. Hal tersebut sesuai dengan rumusan Pasal 24A UUD NRI 1945.

Dengan demikian lembaga eksekutif, Presiden maupun kementerian, sebenarnya tidak memiliki kewenangan dalam melakukan pembatalan terhadap perda secara sepihak dengan alasan apa pun. Pembatalan atau pencabutan perda harus dilakukan menurut dasar hukum perundang-undangan ini.

Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana posisi Pasal 251 UU No 23 Tahun 2014 tentang pemberian kewenangan kepada Mendagri untuk mencabut perda?

Secara tegas, harusnya pemerintah dalam menyusun UU ini, berpatokan dengan konsideran yang lebih tinggi yakni UUD. Sehingga yang seharusnya dipakai adalah UU Ini 12 tahun 2011 karena pemberian kewenangan pembatalan adalah pemberian langsung dari UUD, bukan UU No. 23 tahun 2014 yang ‘berusaha’ membuat kewenangan sendiri.

Langkah apa yang diambil?

Aturan yang digunakan oleh kementerian dalam negeri dalam membatalkan Perda adalah dapat dibatalkan karena justru peraturan tersebut yang digunakan oleh Kementerian dalam negeri sendiri yang tidak konsisten terhadap UUD.

Oleh karena itu, tampaknya akan menarik, air keruh ini semakin diperkeruh dengan ramai-ramai Pemerintah Daerah yang merasa dirugikan mengajukan gugatan ke PTUN atas surat ‘putus’ Mendagri tersebut.

Pemerintah dalam membuat aturan janganlah men-campuradukan kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatif, sehingga tatanan hukum Indonesia menjadi tidak beraturan. Menjadi chaos hukum.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun