Namun apabila mencermati secara aturan mengenai perundang-undangan, dasar hukum yang dipergunakan Mendagri untuk melakukan pembatalan itu adalah tidak tepat secara hukum. Isi UU No 23 Tahun 2014 Pasal  itu bertentangan dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan.
UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan
Dalam Pasal 9 UU No 12 Tahun 2011 yang menyatakan apabila dugaan pertentangan UU dengan UUD, diperiksa dan diputus MK. Sedangkan apabila terdapat dugaan pertentangan peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, diperiksa dan diputus oleh MA. Hal tersebut sesuai dengan rumusan Pasal 24A UUD NRI 1945.
Dengan demikian lembaga eksekutif, Presiden maupun kementerian, sebenarnya tidak memiliki kewenangan dalam melakukan pembatalan terhadap perda secara sepihak dengan alasan apa pun. Pembatalan atau pencabutan perda harus dilakukan menurut dasar hukum perundang-undangan ini.
Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana posisi Pasal 251 UU No 23 Tahun 2014 tentang pemberian kewenangan kepada Mendagri untuk mencabut perda?
Secara tegas, harusnya pemerintah dalam menyusun UU ini, berpatokan dengan konsideran yang lebih tinggi yakni UUD. Sehingga yang seharusnya dipakai adalah UU Ini 12 tahun 2011 karena pemberian kewenangan pembatalan adalah pemberian langsung dari UUD, bukan UU No. 23 tahun 2014 yang ‘berusaha’ membuat kewenangan sendiri.
Langkah apa yang diambil?
Aturan yang digunakan oleh kementerian dalam negeri dalam membatalkan Perda adalah dapat dibatalkan karena justru peraturan tersebut yang digunakan oleh Kementerian dalam negeri sendiri yang tidak konsisten terhadap UUD.
Oleh karena itu, tampaknya akan menarik, air keruh ini semakin diperkeruh dengan ramai-ramai Pemerintah Daerah yang merasa dirugikan mengajukan gugatan ke PTUN atas surat ‘putus’ Mendagri tersebut.
Pemerintah dalam membuat aturan janganlah men-campuradukan kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatif, sehingga tatanan hukum Indonesia menjadi tidak beraturan. Menjadi chaos hukum.
Salam.