[caption caption="Sumber: www.ahmadbaihaqi.com"][/caption]
Tahun 2015 sebentar lagi berlalu. Di penghujung tahun ini dunia politik Indonesia tampaknya ingin memberikan ‘kado’untuk rakyat Indonesia. Pada akhir tahun ini saja, sudah tiga peristiwa yang ajaib terjadi. Dikatakan ajaib, karena hal tersebut menadi sorotan publik dan seharusnya tidak pantas dilakukan para elit politik. Tapi ya mau bagaimana lagi, tampaknya ini menjadi penghujung tahun yang lucu. Sarat humor. Apa saja peristiwa itu?
[caption caption="Sumber: 1cak.com"]
Drama Mahkamah Kehormatan Dewan
Ini drama pertama yang disajikan sebagai penutup tahun. Dimana Setya Novanto (SN), Ketua DPR kala itu menjadi teradu yang dilaporkan Oleh Sudirman Said (SS). SS mengklaim bahwa telah terjadi pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden oleh SN. Direkaman terdengar bahwa agar Freeport ‘aman’, Freeport wajib memberikan saham sebesar 11% untuk Presiden dan 9% untuk Wakil Presiden. Bahkan hastag dan meme #papamintasaham sempat merajalela memenuhi dunia maya.
Dan dalam perjalanan kasus tersebut, dalam tahapan pembuktian ternyata berjalan mbeleber kemana-mana. Kasus yang seharusnya tidak menjadi santapan MKD, ternyata disantap juga, sehingga masyarakat turut gemas-gemas meremas (haha, apa lagi ini?). Sehingga muncul banyak guyonan yang mengatakn, MKD (Mahkamah Koncone Dewe), MKD (Mahkamah Koncone Dajjal), dll.
[caption caption="Sumber: 1cak.com"]
Galaunya Jonan
Nah, yang ini juga termasuk berita yang menghebohkan. Entah ada udang dibalik mana lagi yang akan didustakan. Dalam tempo tidak sampai 24 jam, edaran yang ditanda-tangani oleh orang yang sama, dibatalkan. Paginya melarang siangnya mencabut larangan itu. Bermaksud mencitrakan seseorang terlihat sebagai pahlawan atau bagaimana? Entah, apa motivasimu Pak Jonan.
[caption caption="Sumber: indoberita.com"]
Terpilihnya Ketua KPK
Mengapa ini saya anggap lelucon? Ya. Memilih ketua lembaga yang bersifat extra ordinary dengan cara voting! Satu-satunya lembaga negara di bidang penegakan hukum yang masih bisa dipercaya masyarakat, tampaknya juga akan ikut digembosi.
Cara pertama dengan mengamandemen UU nya tidak berhasil amak memilih tokoh-tokoh yang notabenenya masih baru di dunia hukum pun yang lama, memiliki track record ‘kurang’meyakinkan.
Lima pimpinan terpilih itu adalah Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Laode Muhammad Syarif, dan Saut Situmorang. Kelima pemimpin KPK tersebut, setidaknya terdapat tiga nama yang kurang merefleksikan terhadap semangat pemberantasan korupsi.
Pertama, Basaria Panjaitan, jagoan Wakil Kepala Polri Komjen Budi Gunawan ini pernah secara terbuka mengatakan bahwa KPK cukup menjadi pusat pelaporan antikorupsi. Jadi, kedepannya, KPK hanya sebagai pengepul kasus laporan korupsi. Menurut Basaria, KPK sebaiknya didorong sebagai lembaga yang mendukung penguatan kepolisian dan kejaksaan untuk kasus korupsi.
Basaria menjelaskan, fungsi KPK telah diatur dalam Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang pada intinya mendorong kinerja penegak hukum lainnya (triger machim). Oleh karena itu, Basaria mengusulkan agar KPK melimpahkan penanganan kasus kepada kepolisian atau kejaksaan ketika sudah ditemukan dua alat bukti terkait korupsi.
Bukankah menjadi hal yang aneh, karena filosofi kehadiran KPK adalah sebagai lembaga yang dibentuk (ad-hoc) dikarenakan perhatian khusus kepada korupsi yang sudah merajalela (extra ordinary). Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan, dianggap kewalahan dalam menangani kasus korupsi, maka dari itu dibentuklah KPK. Bahkan menurut UU, apabila terdapat kasus korupsi, dimana kasus tersebut masuk dalam kriteria kasus yang besar, Kepolisian dan Kejaksaan harus secara sukarela menyerahkan kasus tersebut kepada KPK.
Didirikannya KPK adalah untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi yang selama ini kurang efektif. Hal tersebut jelas termaktub dalam pertimbangan lahirnya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Jelas-jelas tampak perbedaan antara KPK dengan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan . kepolisian dan kejaksaan menjerakan pelaku korupsi kepada lembaga pesakitan. Hal tersebut bertujuan untuk pencegahan khusus (mencegah koruptor mengulangi korupsinya dengan memperlihatkan ketegasan hukuman). Sehingga semestinya KPK diorientasikan pada penindakan, bukan sebagai pelaporan yang lebih bersifat administrasial.
Kedua, Alexander Marwata. Dia dikenal kerap melontarkan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dalam putusan. Selama 4 tahun menjabat sebagai hakim ad hoc pengadilan Tipikor, Alexander Marwata sudah 10 kali mengeluarkan dissenting opinion dalam putusannya. Dissenting opinion pada dasarnya adalah hak penuh individual hakim dalam pertanggung-jawabannya terhadap putusan.
Alexander Marwata membela diri dengan mengatakan bahwa dia meyakini terdakwa tidak bersalah, misalnya tidak hati-hati atau kelalaian, bagi dia korupsi bukan masalah kelalaian. Namun, mengeluarkan 10 kalo dissenting opinion juga perlu menjadi pertanyaan dalam komitmennya memberantas korupsi.
Ketiga, Saut, pada wawancara pernah menyatakan bahwa jika terpilih sebagai pimpinan KPK, ia tidak akan membuka kembali kasus lama, seperti kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan kasus Bank Century. Bukankah itu kasus yang menjadi PR besar KPK? Dia beralaskan, efisensi. Semua harus dimulai dari nol lagi.
Apakah ini wujud dari revolusi yang dinginkan oleh Pemerintah? Meminjam istilah Buya Ham kaalau bekerja hanya sekedar bekerja, monyet di hutan pun bekerja. Semoga di tahun depan, bukan menjadi tahun yang kembali mendung. Terutama dalam penegakan hukum.
Salam.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H