Basaria menjelaskan, fungsi KPK telah diatur dalam Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang pada intinya mendorong kinerja penegak hukum lainnya (triger machim). Oleh karena itu, Basaria mengusulkan agar KPK melimpahkan penanganan kasus kepada kepolisian atau kejaksaan ketika sudah ditemukan dua alat bukti terkait korupsi.
Bukankah menjadi hal yang aneh, karena filosofi kehadiran KPK adalah sebagai lembaga yang dibentuk (ad-hoc) dikarenakan perhatian khusus kepada korupsi yang sudah merajalela (extra ordinary). Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan, dianggap kewalahan dalam menangani kasus korupsi, maka dari itu dibentuklah KPK. Bahkan menurut UU, apabila terdapat kasus korupsi, dimana kasus tersebut masuk dalam kriteria kasus yang besar, Kepolisian dan Kejaksaan harus secara sukarela menyerahkan kasus tersebut kepada KPK.
Didirikannya KPK adalah untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi yang selama ini kurang efektif. Hal tersebut jelas termaktub dalam pertimbangan lahirnya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Jelas-jelas tampak perbedaan antara KPK dengan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan . kepolisian dan kejaksaan menjerakan pelaku korupsi kepada lembaga pesakitan. Hal tersebut bertujuan untuk pencegahan khusus (mencegah koruptor mengulangi korupsinya dengan memperlihatkan ketegasan hukuman). Sehingga semestinya KPK diorientasikan pada penindakan, bukan sebagai pelaporan yang lebih bersifat administrasial.
Kedua, Alexander Marwata. Dia dikenal kerap melontarkan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dalam putusan. Selama 4 tahun menjabat sebagai hakim ad hoc pengadilan Tipikor, Alexander Marwata sudah 10 kali mengeluarkan dissenting opinion dalam putusannya. Dissenting opinion pada dasarnya adalah hak penuh individual hakim dalam pertanggung-jawabannya terhadap putusan.
Alexander Marwata membela diri dengan mengatakan bahwa dia meyakini terdakwa tidak bersalah, misalnya tidak hati-hati atau kelalaian, bagi dia korupsi bukan masalah kelalaian. Namun, mengeluarkan 10 kalo dissenting opinion juga perlu menjadi pertanyaan dalam komitmennya memberantas korupsi.
Ketiga, Saut, pada wawancara pernah menyatakan bahwa jika terpilih sebagai pimpinan KPK, ia tidak akan membuka kembali kasus lama, seperti kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan kasus Bank Century. Bukankah itu kasus yang menjadi PR besar KPK? Dia beralaskan, efisensi. Semua harus dimulai dari nol lagi.
Apakah ini wujud dari revolusi yang dinginkan oleh Pemerintah? Meminjam istilah Buya Ham kaalau bekerja hanya sekedar bekerja, monyet di hutan pun bekerja. Semoga di tahun depan, bukan menjadi tahun yang kembali mendung. Terutama dalam penegakan hukum.
Salam.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H