[caption caption="Sumber: Solidaritas.net"][/caption]
Bagai lagu Arjuna milik Dewa; kerja kini amat (sangat) diburu. Dicari kesana-kemari. Sang pencari kerja akan mati-matian mencari. Bedanya kalau Arjuna mencari cinta, pencari kerja tentu mencari kerja. Jumlah pencari kerja yang tiap tahun makin banyak tidak bisa berimbang dengan ketersediaan lowongan pekerjaan.
Melihat melonjaknya angka pencari kerja membuat banyak perusahaan yang membuka lapangan pekerjaan pun semakin merasa diatas angin dalam membuat peraturan perihal kontrak kerja dengan para pekerjanya. Salah satu kebijakan perusahaan yang sekarang marak terjadi adalah dengan menahan ijazah asli para pekerjanya. Bolehkah demikian? Mari kita bahas.
Aturan Penahan Ijazah, ada dimana?
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juga dalam KUHPerdata, perihal penahanan ijazah tidak diatur secara eksplisit. Namun, dalam hukum perdata terdapat sebuah adagium pacta sunt servanda, bahwa kesepakatan adalah uu bagi para pihak. Untuk menganalisis penahanan ijazah pendekatan yang digunakan adalah pendekatan secara kaidah penahanan benda (benda sebagai jaminan).
Hak untuk menahan sesuatu milik orang lain dalam hukum perdata dikenal dengan istilah hak retensi. Hak retensi (retentie) adalah hak yang diberikan kepada kreditur tertentu, untuk menahan benda debitur, sampai tagihan yang berhubungan dengan benda tersebut dilunasi, sebagaimana terdapat dalam Pasal 575 ayat (2), Pasal 1576, Pasal 1364 ayat (2), Pasal 1616, Pasal 1729, dan Pasal 1812 KUHPer.
Lebih lanjut, hak retensi/menahan tersebut bertujuan untuk memberikan tekanan kepada debitur agar segera melunasi utangnya. Kreditur dengan hak retensi sangat diuntungkan dalam penagihan piutangnya.
Hak retensi berbeda dengan hak-hak jaminan kebendaan yang lain, karena ia tidak diperikatkan secara khusus, tidak diperjanjikan, dan bukan diberikan oleh undang-undang dengan maksud untuk mengambil pelunasan lebih dahulu dari “hasil penjualan” benda-benda debitur, tetapi sifat jaminan di sana muncul demi hukum, karena ciri/sifat daripada lembaga hukum itu sendiri.
Tentu saja perusahaan tidak bisa memelintir hak retensi ini dalam hal penahanan ijazah (calon) karyawan. Mengapa? Karena ijazah bukanlah benda yang berhubungan dengan suatu utang yang dimiliki oleh calon karyawan terhadap perusahaannya. Dengan demikian, perjanjian penahan ijazah tersebut adalah menyalahi kaidah hak retensi.
Selain itu, berdasarkan Buku III KUHPerdata dalam suatu perjanjian dikenal asas kepatutan dan kepantasan (1338 KUHPerdata). Perbuatan menahan ijazah ini adalah tidak patut karena dengan ditahannya ijazah seorang mengakibatkan si karyawan tersebut tidak bisa:
1. Berbuat bebas atas hak miliknya (dokumen ijazah) yang ditahan tersebut;
2. Menikmati manfaat dari ijazah yang ditahan tersebut yaitu berupa kesempatan bekerja di tempat lain.
Selain tidak sesuai dengan hukum perdata, penahanan ijazah karyawan oleh perusahaan juga termasuk kategori melanggar Hak Asasi Manusia perihal mencari penghidupan yang layak (silahkan buka UUD 1945 dalam Pasal 28).
Hal lain yg juga patut diperhatikan adalah perbuatan penahanan ijazah ini menimbulkan kecurigaan: ada (hal negatif) apa yg mendorong perusahaan menahan ijazah karyawannya? Mengapa perusahaan perlu membatasi atau bahkan merampas hak karyawan untuk melamar di tempat lain?
Jadi, apakah perusahaan anda demikian?
Sumber Refrensi:
J. Satrio. 2004. Hukum Jaminan Hak Jaminan. PT Citra Aditya Bakti: Jakarta.Lebih lengkapnya Silahkan lihat buku J. Satrio “Hukum Jaminan Hak Jaminan”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H