"Bayu? Aku nggak percaya ini kamu!" seruku tak kalah antusias.
Bayu adalah teman masa kecilku, sekaligus tetangga yang rumahnya hanya berjarak beberapa langkah dari rumahku. Ia dulu sering menjadi pemimpin dalam petualangan kami. Ternyata ia masih tinggal di desa, mengelola perkebunan yang diwariskan keluarganya.
Kami pun berbincang panjang. Banyak cerita lama yang kembali muncul, dari kenakalan kami mencuri mangga di kebun tetangga hingga pengalaman jatuh ke sungai. Tapi tak hanya masa lalu, Bayu juga bercerita tentang kehidupannya sekarang, bagaimana ia menikmati kesederhanaan desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota.
"Kenapa kamu nggak pulang lebih sering?" tanyanya di sela obrolan.
Aku terdiam sejenak. Pertanyaan itu sederhana, tapi berat untuk dijawab. Kehidupan kota yang serba cepat sering kali membuatku lupa tentang akar tempatku berasal.
"Aku terlalu sibuk mencari sesuatu yang bahkan aku nggak tahu apa," jawabku akhirnya.
Bayu tersenyum, seolah mengerti tanpa perlu penjelasan panjang.
Hari-hari berikutnya, aku banyak menghabiskan waktu bersamanya. Kami pergi ke ladang, menikmati senja, dan mengunjungi tempat-tempat yang dulu menjadi bagian penting dari masa kecil kami. Rasanya seperti waktu berhenti dan aku kembali menjadi anak kecil yang bebas.
Malam tahun baru tiba, dan desa merayakannya dengan sederhana. Warga berkumpul di balai desa, menyalakan lampion, dan saling bertukar doa untuk tahun yang akan datang. Di tengah keramaian itu, aku berdiri di samping Bayu, menikmati kebersamaan yang hangat.
Ketika langit dipenuhi lampion, aku merasa hatiku menjadi lebih ringan. Desa ini, dengan segala kesederhanaannya, mengingatkanku pada hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup---keluarga, persahabatan, dan kebahagiaan sederhana.
Saat aku harus kembali ke kota, ada rasa berat yang menyelinap di hatiku. Tapi kali ini, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak terlalu lama meninggalkan desa lagi.