Hiruk pikuk kota yang menyita waktu akhirnya berlalu ketika kalender menunjukkan penghujung Desember. Liburan akhir tahun menjadi saat yang tepat untuk mengobati rindu pada desa kelahiran. Sudah hampir lima tahun aku tak pulang, menyibukkan diri dengan pekerjaan yang seolah tak pernah ada ujungnya. Kali ini, tak ada alasan lagi. Aku memutuskan untuk kembali ke tempat di mana semua cerita hidupku bermula.
Perjalanan tiga jam menggunakan kereta membawa aku dari gemuruh kota menuju keheningan desa. Langit biru yang cerah menyambutku di stasiun kecil yang sederhana. Udara desa yang segar langsung menyentuh wajahku, menyapu jauh polusi kota yang biasa kuhirup. Senyuman hangat Pak Darman, sopir ojek langganan sejak kecil, masih sama seperti dulu.
"Lama sekali nggak pulang, Dik Rini. Desa ini kangen sama kamu," sapanya sambil memasang senyum lebar.
Aku hanya tersenyum, terlalu banyak rindu untuk diungkapkan dalam kata-kata. Sepanjang perjalanan ke rumah, sawah hijau yang terbentang luas mengingatkanku pada masa kecil. Di sinilah aku dulu bermain, mengejar capung, dan berlari tanpa khawatir tentang waktu. Desa itu tak banyak berubah, tetap sederhana dan damai.
Rumah masa kecilku berdiri kokoh di tengah ladang yang luas. Pohon mangga di halaman depan sudah jauh lebih besar, dan aroma khas kayu rumah lama langsung menyeruak ketika aku melangkahkan kaki ke dalam. Ibuku, yang kini rambutnya mulai memutih, menyambutku dengan pelukan erat.
"Rini, akhirnya pulang juga. Ibu hampir lupa bagaimana suaramu," katanya dengan nada bercanda, meski aku tahu ada kerinduan dalam ucapannya.
Hari-hari di desa berlalu dengan begitu hangat. Aku membantu Ibu memasak di dapur, berbincang dengan tetangga yang masih mengingatku, dan menikmati malam yang sunyi tanpa kebisingan. Salah satu hal yang paling aku nantikan adalah pergi ke sungai kecil di belakang rumah. Tempat itu dulu menjadi markas rahasia bagiku dan teman-teman masa kecilku.
Esoknya, aku memutuskan untuk pergi ke sana. Sungai itu masih sama, meski kini lebih sepi. Batu-batu besar di tepiannya menjadi saksi bisu dari petualangan kami dulu. Aku duduk di salah satu batu, membiarkan air dingin menyentuh kakiku. Dalam keheningan itu, kenangan-kenangan masa kecil berkelebat di benakku---saat kami bermain petak umpet, mencari ikan kecil, atau sekadar bercanda tanpa beban.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang. Aku menoleh dan melihat seorang lelaki dengan senyum lebar mendekat. Wajah itu tak asing bagiku.
"Rini? Kamu masih suka ke sini juga, ya?" tanyanya.