batas senja, suara tak terjawab,
RUU Pilkada tertatih, terbungkam waktu,
Janji demokrasi terurai dalam bayang,
Hampa melingkar, menggantung di langit biru.
Di meja-meja, kata-kata kehilangan arah,
Perdebatan tak berujung, tiada kepastian,
Suara rakyat tercekik dalam kebisuan,
Hampa merambat, menghujam ke dasar hati.
Pernah ada harapan yang terbang tinggi,
Kini ia jatuh, terempas di jalan sunyi,
Mata-mata kosong menatap layar kaca,
RUU Pilkada menjadi bayangan kelam.
Tak ada riuh, hanya bisikan yang tertebar,
Lelah sudah memohon, lelah sudah menunggu,
Hampa semakin nyata, menguasai ruang,
Masa depan terdiam dalam tanya tak berjawab.
Di lorong parlemen, janji tinggal janji,
Setiap suara tak sampai ke ujung mimpi,
Hampa mengalir dalam sidang tak bermakna,
Seolah demokrasi kehilangan denyutnya.
Angin membawa kabar, tak ada yang berubah,
RUU Pilkada terdiam dalam retorika,
Hampa menyelinap di setiap kata yang kosong,
Masa depan kita tertahan di simpang jalan.
Pernah ada semangat yang menyala terang,
Kini hanya tersisa abu dalam diam,
Hampa menari di atas reruntuhan harapan,
RUU Pilkada menjadi saksi kesunyian.
Kita berdiri di tepi jurang ketidakpastian,
RUU Pilkada, bayangan yang tak kunjung jelas,
Hampa menggema dalam ruang-ruang kosong,
Mengikat kita dalam lingkaran tanpa ujung.
Tak ada lagi yang bisa diucapkan,
Hampa telah merasuki seluruh relung,
RUU Pilkada hanyalah angan yang terhenti,
Di balik dinding-dinding parlemen yang beku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H