Mohon tunggu...
Ahmad Syaihu
Ahmad Syaihu Mohon Tunggu... Guru - Guru MTsN 4 Kota Surabaya

Guru yang suka menulis dan berbagi kebaikan lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Pengalaman Tak Terduga Seorang Guru dalam Seleksi Kepala Madrasah, Tersingkir Karena Usia Lebih 4 Bulan

3 Agustus 2024   10:20 Diperbarui: 3 Agustus 2024   10:28 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Batasan Usia Memupus harapan Penulis Menjadi Kepala Madrasah

Pada tahun 2021, ketika dunia masih bergulat dengan pandemi COVID-19, Kementerian Agama Indonesia membuka rekrutmen untuk calon Kepala Madrasah. Program ini ditujukan untuk guru yang memiliki kompetensi tertentu, dengan beberapa persyaratan penting. Selain administrasi seperti ijazah minimal S-1, Akta Mengajar, SK Pengangkatan sebagai PNS, SK terakhir, dan Daftar Penilaian dari atasan, ada beberapa syarat tambahan yang harus dipenuhi. Salah satu syarat yang cukup menantang adalah batasan usia, yaitu tidak boleh lebih dari 54 tahun saat mendaftar.

Penulis, seorang guru dengan masa kerja 22 tahun dan memiliki golongan IVA, berusia 54 tahun lebih 4 bulan saat itu. Meskipun memenuhi semua persyaratan administrasi dan kompetensi, penulis dan beberapa rekannya merasa optimis dan memutuskan untuk mendaftar. Mereka melengkapi semua dokumen yang diperlukan, termasuk surat kesehatan dari Rumah Sakit Pemerintah serta surat rekomendasi dari Kepala Madrasah dan Pengawas Madrasah.

Namun, harapan tersebut pupus ketika penulis mencoba membuka akun pendaftaran. Sistem langsung memberikan notifikasi bahwa penulis tidak memenuhi syarat, bahkan sebelum data pribadi dimasukkan. Ternyata, sistem pendaftaran sudah terhubung dengan data pokok pegawai Kementerian Agama di Pusat Data. Dengan demikian, setiap pendaftar langsung terdeteksi usianya, dan penulis dinyatakan tidak memenuhi syarat usia maksimal.

Pengalaman ini memicu perenungan mendalam tentang relevansi batasan usia dalam rekrutmen. Mengapa masih ada perusahaan atau instansi yang mensyaratkan batasan usia tertentu ketika membuka lowongan pekerjaan? Apakah perusahaan lebih percaya pekerja muda karena dianggap memiliki lebih banyak energi? Atau, apakah pekerja yang sudah berusia lebih tua dianggap kurang dinamis dalam beradaptasi dengan perubahan?

Dari sudut pandang praktis, batasan usia mungkin diterapkan untuk menjaga keseimbangan antara pengalaman dan stamina. Pekerja muda sering dianggap lebih cepat beradaptasi dengan teknologi baru dan perubahan dalam dunia kerja. Mereka juga dianggap memiliki energi yang lebih untuk menjalani tugas-tugas yang mungkin memerlukan fisik dan mental yang prima.

Namun, batasan usia ini sering kali dianggap tidak adil bagi pekerja yang sudah berusia lebih tua. Mereka yang memiliki pengalaman kerja puluhan tahun tentu memiliki keunggulan dalam hal pengetahuan, ketrampilan, dan kebijaksanaan yang didapat dari pengalaman panjang mereka. Selain itu, dalam banyak kasus, pekerja yang lebih tua juga menunjukkan loyalitas dan stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan pekerja yang lebih muda.

Kompasianer bisa mempertanyakan relevansi dari batasan usia ini. Apakah masih relevan untuk saat ini? Bukankah setiap individu, berapa pun usianya, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kesempatan kerja selama memenuhi syarat lainnya? Di dunia yang semakin menghargai inklusivitas dan keanekaragaman, kebijakan yang mengecualikan pekerja berdasarkan usia bisa dianggap usang dan diskriminatif.

Pengalaman pribadi penulis ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh banyak pekerja yang sudah berusia lebih tua. Meskipun memiliki kualifikasi dan pengalaman yang memadai, mereka sering kali terhalang oleh kebijakan usia yang kaku. Ini menjadi sebuah ironi, mengingat bahwa pengalaman dan kebijaksanaan yang mereka bawa bisa sangat berharga bagi organisasi.

Beberapa perusahaan mungkin berargumen bahwa mereka perlu menjaga komposisi usia tertentu dalam tim untuk menjaga dinamika dan energi tim. Namun, dalam praktiknya, keragaman usia dalam tim justru bisa menjadi aset. Pekerja muda bisa belajar banyak dari pengalaman senior, sementara pekerja senior bisa mendapatkan perspektif baru dari rekan-rekan yang lebih muda.

pengalaman penulis ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk terus memperjuangkan kesetaraan dalam dunia kerja. Setiap individu, tanpa memandang usia, harus memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi. Batasan usia dalam rekrutmen perlu ditinjau kembali agar tidak menjadi penghalang bagi mereka yang masih memiliki banyak hal untuk ditawarkan. Dengan demikian, kita bisa menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif, adil, dan dinamis bagi semua pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun