Mohon tunggu...
Ahmad Syaihu
Ahmad Syaihu Mohon Tunggu... Guru - Guru MTsN 4 Kota Surabaya

Guru yang suka menulis dan berbagi kebaikan lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rindu Ibu dalam Sebuah Bingkai Foto

22 Desember 2023   08:45 Diperbarui: 22 Desember 2023   08:58 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                 

                Di sebuah sudut ruang tamu yang penuh kenangan, tergantunglah sebuah foto keluarga bahagia. Amir Syarifudin, seorang pemuda dengan senyum lugu, duduk di kursi kayu tua sambil memandangi wajah bahagia orang tuanya yang terpampang di dalam bingkai foto.

                 Amir, seorang lulusan sarjana yang baru saja menyelesaikan pendidikannya, merenung dengan tatapan sendu. Di wajahnya terpancar kerinduan yang dalam, terutama ketika matanya menyentuh foto ibunya, Dewi Amini, dan bapaknya, Ahmad Sapan. Hari wisuda Amir menjadi kenangan pahit yang terus menghantuinya.

                Pada hari wisuda, ketika banyak orang tua bersorak-sorai dengan bangga menyaksikan anak-anak mereka melangkah di atas panggung, Amir terasa kehilangan. Kursi yang seharusnya ditempati oleh Dewi Amini kosong, dan di sebelahnya, Ahmad Sapan, bapak yang tak pernah lelah memberikan dukungan, tidak lagi bisa tersenyum padanya.

                Suara langkah kaki Amir yang melangkah ke atas panggung terdengar sendu, terasa seperti langkah yang menyisakan kekosongan. Ia menerima gelar sarjana dengan hati yang berkecamuk. Dalam foto wisuda itu, senyum Amir mencoba menyembunyikan rasa kehilangan dan kerinduannya yang begitu mendalam.

                Hari-hari setelah itu menjadi seperti bayangan, diwarnai oleh penyesalan dan kerinduan yang semakin dalam. Di malam yang sunyi, Amir duduk sendirian di kamarnya, memandangi foto keluarga itu sambil meratapi takdir yang tak bisa diubahnya.

            "Ibu,Bapak... kenapa kalian harus pergi begitu cepat?" bisik Amir dengan suara serak, seakan-akan harapannya masih terdengar di antara lapisan waktu yang memisahkan mereka. "Aku tidak bisa membuatmu bangga seperti yang kau inginkan. Maafkan aku."

              Ketika Amir melihat foto itu, bayangan kenangan bersama ibu dan bapaknya terulang di benaknya. Dia mengingat betapa Dewi Amini selalu tersenyum lembut setiap kali memberikan nasihat atau meraihkan tangan Amir ketika ia jatuh. Ahmad Sapan, dengan mata penuh kebanggaan, selalu memberikan semangat agar Amir tak pernah menyerah dalam mengejar cita-citanya.

              Amir menangis dalam gelap, berharap bahwa air matanya bisa membawa pesan-pesan cintanya ke alam yang tak terlihat. "Ma, Pa, aku berharap kalian bisa tahu betapa aku merindukan kalian setiap hari," ucapnya dengan hati yang hancur.

             Suatu hari, Amir menemukan sebuah kotak tua yang tersembunyi di lemari kayu di sudut ruang tamu. Dengan tangan gemetar, ia membukanya dan menemukan sejumlah foto kenangan lainnya. Foto-foto itu membawa kembali momen-momen manis bersama keluarganya. Amir tersenyum getir melihat betapa bahagianya mereka dalam potret-potret itu.

            Amir teringat sebuah momen ketika mereka berdua berada di taman bermain, tertawa dan bahagia. "Ma, Pa, mengapa kalian harus pergi begitu cepat?" desah Amir sambil meraih potret kecil mereka bertiga di taman. Dia merasa seolah-olah waktu berhenti di sana, di saat kebahagiaan keluarga masih utuh dan tak tergoyahkan.

            Beberapa hari kemudian, Amir mengundang teman-temannya untuk berkumpul di rumahnya. Mereka melihat-lihat potret keluarga itu dengan penuh perhatian. Melihat Amir yang tersenyum, teman-temannya menyadari bahwa di balik senyumannya itu tersimpan cerita yang mendalam.

           Amir menceritakan kisahnya, bagaimana ia masih merindukan ibu dan bapaknya setiap hari. Teman-temannya mendengarkan dengan penuh pengertian, dan sejenak suasana haru terasa menyelimuti ruangan itu. Salah satu temannya, Sarah, memberanikan diri untuk mengucapkan sesuatu.

            "Amir, meski mereka tak ada di sini, aku yakin ibu dan bapakmu selalu merasa bangga padamu dari tempat yang lebih baik," kata Sarah sambil menggenggam erat tangan Amir. "Dan teman-temanmu di sini juga selalu ada untukmu."

             Kata-kata Sarah menyentuh hati Amir. Dalam perjalanan hidupnya yang terus berlanjut, Amir mulai belajar menerima kenyataan dan mencari kebahagiaan di setiap langkahnya. Meski kehilangan tak pernah bisa tergantikan, cinta dan kenangan bersama ibu dan bapaknya tetap menjadi pendorong dalam setiap perjuangan hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun