Â
        Di sebuah sudut ruang tamu yang penuh kenangan, tergantunglah sebuah foto keluarga bahagia. Amir Syarifudin, seorang pemuda dengan senyum lugu, duduk di kursi kayu tua sambil memandangi wajah bahagia orang tuanya yang terpampang di dalam bingkai foto.
         Amir, seorang lulusan sarjana yang baru saja menyelesaikan pendidikannya, merenung dengan tatapan sendu. Di wajahnya terpancar kerinduan yang dalam, terutama ketika matanya menyentuh foto ibunya, Dewi Amini, dan bapaknya, Ahmad Sapan. Hari wisuda Amir menjadi kenangan pahit yang terus menghantuinya.
        Pada hari wisuda, ketika banyak orang tua bersorak-sorai dengan bangga menyaksikan anak-anak mereka melangkah di atas panggung, Amir terasa kehilangan. Kursi yang seharusnya ditempati oleh Dewi Amini kosong, dan di sebelahnya, Ahmad Sapan, bapak yang tak pernah lelah memberikan dukungan, tidak lagi bisa tersenyum padanya.
        Suara langkah kaki Amir yang melangkah ke atas panggung terdengar sendu, terasa seperti langkah yang menyisakan kekosongan. Ia menerima gelar sarjana dengan hati yang berkecamuk. Dalam foto wisuda itu, senyum Amir mencoba menyembunyikan rasa kehilangan dan kerinduannya yang begitu mendalam.
        Hari-hari setelah itu menjadi seperti bayangan, diwarnai oleh penyesalan dan kerinduan yang semakin dalam. Di malam yang sunyi, Amir duduk sendirian di kamarnya, memandangi foto keluarga itu sambil meratapi takdir yang tak bisa diubahnya.
      "Ibu,Bapak... kenapa kalian harus pergi begitu cepat?" bisik Amir dengan suara serak, seakan-akan harapannya masih terdengar di antara lapisan waktu yang memisahkan mereka. "Aku tidak bisa membuatmu bangga seperti yang kau inginkan. Maafkan aku."
       Ketika Amir melihat foto itu, bayangan kenangan bersama ibu dan bapaknya terulang di benaknya. Dia mengingat betapa Dewi Amini selalu tersenyum lembut setiap kali memberikan nasihat atau meraihkan tangan Amir ketika ia jatuh. Ahmad Sapan, dengan mata penuh kebanggaan, selalu memberikan semangat agar Amir tak pernah menyerah dalam mengejar cita-citanya.
       Amir menangis dalam gelap, berharap bahwa air matanya bisa membawa pesan-pesan cintanya ke alam yang tak terlihat. "Ma, Pa, aku berharap kalian bisa tahu betapa aku merindukan kalian setiap hari," ucapnya dengan hati yang hancur.
       Suatu hari, Amir menemukan sebuah kotak tua yang tersembunyi di lemari kayu di sudut ruang tamu. Dengan tangan gemetar, ia membukanya dan menemukan sejumlah foto kenangan lainnya. Foto-foto itu membawa kembali momen-momen manis bersama keluarganya. Amir tersenyum getir melihat betapa bahagianya mereka dalam potret-potret itu.
      Amir teringat sebuah momen ketika mereka berdua berada di taman bermain, tertawa dan bahagia. "Ma, Pa, mengapa kalian harus pergi begitu cepat?" desah Amir sambil meraih potret kecil mereka bertiga di taman. Dia merasa seolah-olah waktu berhenti di sana, di saat kebahagiaan keluarga masih utuh dan tak tergoyahkan.